TUAK LONTAR
Tinjauan Akhir Tahun Lingkungan Hidup Orang NTT dan Resolusinya 2018
Agresi Di Balik Topeng Monyet Investasi
Salam Adil Dan Lestari
Akhir tahun 2018 ini, bagi WALHI NTT berbeda dengan akhir tahun sebelumnya. WALHI NTT akan menerbitkan tinjauan akhir tahun untuk kondisi pengelolaan lingkungan hidup dan wilayah kelola rakyat di NTT. Hal baru ini diharapkan akan menjadi tradisi tahunan bagi upaya penguatan dan pelestarian lingkungan di NTT tercinta ini. Terbitan ini dinamakan TUAK LONTAR yang merupakan akronim dari Tinjauan Akhir Tahun Lingkungan Hidup Orang NTT dan Resolusinya.
WALHI NTT adalah organisasi publik yang bergerak dalam advokasi lingkungan hidup dan wilayah kelola rakyat di NTT. Oleh karena itu, penting untuk menyampaikan kepada publik mengenai segala dinamika pengelolaan lingkungan hidup dan wilayah kelola rakyat (WKR) yang terjadi. Mulai dari kebijakan pemerintah, kondisi lapangan hingga kasus kasus yang dilaporkan ke WALHI NTT selama setahun ini.
Pada TUAK LONTAR kali ini, WALHI NTT akan mengetengahkan berbagai persoalan yang terjadi selama setahun ini. Mulai dari kebijakan yang tidak pro lingkungan dan WKR, Kerusakan Lingkungan hingga bencana ekologi. Harapannya, publik bisa tahu dan ikut serta berkontribusi lebih kuat dalam upaya perlindungan lingkungan hidup dan kemanusiaan di NTT.
Catatan pertama
Catatan Hitam Pariwisata NTT, dari Pembunuhan warga hingga Keindahan Palsu
Publik NTT bahkan Nasional tahun ini tentu tidak mungkin lupa peristiwa penembakan oleh oknum polisi terhadap Poro Duka ( Seorang Petani asal Desa Patiala Bawa, Sumba Barat) pada 25 April 2018 silam. Poro Duka bersama para petani lainnya tengah berusaha mempertahankan lahannya dari upaya klaim yang dilakukan oleh PT. Sutera Marosi Kharisma. Poro Duka dan kawan kawan menolak perusahan yang akan membangun hotel di tempat tersebut di atas lahan seluas 50 hektar.
Peristiwa ini hanyalah satu dari rentetan kekerasan terhadap rakyat di NTT demi untuk melanggengkan investasi. Investasi yang sebenarnya tidak pernah dimusyawarahkan dengan warga sedari awal. Warga seperti dicabut haknya untuk mengatakan “tidak”. Warga diarahkan sebagai obyek yang harus menerima saja apa yang diinginkan oleh pemerintah atau pengusaha. Bila melawan maka akan menghadapi kekerasan dari aparatur negara atau dibenturkan dengan preman bayaran yang juga dinamai “warga”.
Hotel Terbaik Dunia, Industri Pariwisata di Sumba Barat dan Ironi Kemiskinan
Lebih dari seperempat abad industri pariwisata di wilayah pesisir Sumba telah berjalan. Yang memulainya adalah Claude Garves asal Jerman. Dialah memulainya 1988 dan pada tahun 1995 hadirlah Hotel Nihiwatu di Pesisir Lamboya-Wanokaka, Sumba Barat. 21 tahun kemudian, hotel ini dinobatkan sebagai Hotel Terbaik Dunia dua tahun berturut turut (2016-2017) oleh Majalah Internasional Travel+Leisure. Berdasarkan tarif umum yang dikeluarkan oleh Manajemen Nihiwatu lewat website nihi.com per 1 April 2018 hingga 31 Maret 2019 maka biaya menginap di hotel ini, menempatkannya sebagai salahsatu hotel termahal di Indonesia.
Bila mengikuti kurs dollar saat ini yang mencapai 14 ribu rupiah perdollar maka menginap di Nihiwatu paling murah (saat waktu normal) 11 juta rupiah dan paling mahal 173.250 juta rupiah. Harganya lebih tinggi bisa mencapai dua kali lipat saat masa liburan. Dengan 33 unit villa yang saat ini ada, penghasilan Nihiwatu perbulan bisa mencapai belasan milyar hingga puluhan milyar per bulan. Apalagi dalam salahsatu situs agen perjalanan terkemuka di Indonesia, penginapan di Nihiwatu telah penuh hingga Februari 2019. Tentu itu belum dihitung dengan penyewaan kuda, alat surfing maupun perjalanan lainnya. Kalau dibandingkan dengan Pendapatan Asli Daerah (PAD) dan target PAD Sumba Barat yang berkisar di angka 40-60 Milyar dalam periode 2015 hingga 2018, maka bisa dipastikan penghasilan Nihiwatu (kalau rata rata 15 milyar perbulan) 3 kali lipat diatas PAD Sumba Barat
Saat ini Nihiwatu tidak sendirian di Pesisir Selatan Sumba Barat. Mulai dari bentang pesisir Gaura, Lamboya hingga Wanukaka. Ada beberapa resort yang dimiliki oleh investor luar negeri yakni Lelewatu Resort di Lele Watu, Nautly Resort di Patiala Bawa, , Watu Kaka Resort di Gaura. Ini belum termasuk berbagai home stay yang sedang beroperasi saat ini. Saat ini, Pemda Sumba Barat bahkan menjelaskankan akan ada pembangunan 30 hotel baru di Sumba Barat.
Bisnis tanah untuk kepentingan pariwisata di Sumba Barat yang cuma seluas 70.900 ha ini juga terbilang makin marak. Sangat mudah didapatkan di internet terkait jual beli lahan di pesisir Sumba Barat. Kedepan, hilangnya ruang produksi rakyat makin meluas.
Kemelaratan rakyat kampung di tengah gemerlap bisnis keindahan
Sebagai kabupaten dimana bisnis pariwisata merajalela, tentu publik awam akan menilai bahwa begitu beruntungnya Sumba Barat. Keindahan alam hingga rakyat yang sejahtera tentu ada dalam benak publik. Namun temuan WALHI NTT sungguh bertolakbelakang, pemerintah daerah Sumba Barat justru sedang menampilkan ketimpangan secara ekonomi di daerah tersebut. Per 2016 jumlah penduduk miskin di Sumba Barat adalah 29, 34 % dari jumlah penduduk 123. 913 ribu jiwa. Berikut angka prosentase kemiskinan di Sumba Barat sejak 2010
2010 |
2011 |
2012 |
2013 |
2014 |
2015 |
2016 |
31.73 % |
29.84 % |
29. 61 % |
28.92 % |
27.79 % |
30.56 % |
29.34 % |
Temuan WALHI NTT, kantong kantong kemiskinan justru banyak berada di kampung kampung yang mentereng dari segi kepariwasataan. Salahsatu contohnya di di Desa Watu Karere, tempat dimana hotel terbaik dunia berada. Angka kemiskinan di desa tersebut mencapat 56 %. Lihat tabel kemiskinan
Jumlah KK |
Jumlah KK Miskin |
Jumlah Penerima Raskin |
Rumah tidak layak huni |
467 KK |
263 KK |
263 KK |
90 rumah |
Hal tidak jauh berbeda terjadi di Desa Patiala Bawa. 237 kk dari 364 KK masuk kategori miskin atau ada sebesar 65 % lebih.
Fakta fakta diatas menunjukkan di NTT justru kantung kemiskinan banyak berada di kawasan yang katanya alamnya keren. Propinsi NTT terjebak pada keindahan palsu, yakni sebuah keindahan yang dampak ekonominya dinikmati secara besar besaran oleh para investor atau pemilik modal. Istilah lainnya, alamnya keren, rakyatnya kere.
Tantangan untuk Gubernur baru
Gubernur NTT yang baru selau mengadang-gadang pariwisata sebagai lokomotif utama pembangunan menuju kesejahteraan di NTT. Tentu banyak yang mendukung. Pertanyaannya, apakah model pariwisata yang penuh dengan agresi dan keindahan palsu yang mau diteruskan?
WALHI NTT mendorong pemerintah NTT untuk lebih mengutamakan pariwisata berbasis kerakyatan daripada berbasis investor. Rakyat NTT sebagai pemilik dan perawat kampung harus mendapat benefit ekonomi yang memadai dari keindahan yang dimiliki. Pemerintah harus mampu memperkuat kemampuan rakyat untuk mengelola pariwisata berbasis komunitas.
WALHI NTT juga meminta gubernur NTT untuk meninjau ulang semua model pengelolaan dan tata kuasa lahan di pesisir. Dalam temuan WALHI, banyak sekali kepemilikan lahan berbasis investor dan perseorangan yang melanggar UU. Misalnya UU No. 27 tahun 2007 junto UU No. 1 tahun 2014 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir Dan Pulau Pulau Kecil. Misalnya 100 meter dari air pasang tertinggi adalah milik negara yang hanya diperuntukkan bagi dua hal yakni rekreasi publikk dan konservasi.
Gubernur NTT pada 2019 ini harus menyelesaikan dulu semua konflik agraria akibat pariwisata dan berkomitmen untuk melakukan audit agraria di NTT. Gubernur dan jajarannya juga harus memberantas para mafia tanah di dalam dan luar birokrasi.
Akhirnya, publik akan menanti komitmen gubernur untuk menyelesaikan kasus penembakan Poro Duka hingga tuntas. Mulai dari pelaku penembakan hingga mengembalikan tanah untuk rakyat. STOP Agresi atas nama investasi.
Catatan Kedua
SK Moratorium Tambang; SK Pemberi Harapan Palsu
Viktor Bungtilu Laiskodat dan Yoseph Nae Soi (Victory-Joss), dalam masa-masa kampanye pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur Nusa Tenggara Timur 2018 dengan garang bicara di depan publik untuk melakukan moratorium pertambangan mineral dan batubara di Provinsi Nusa Tenggara Timur.
Tidak hanya berjanji melakukan Moratorium. Pernyataan yang “lebih indah” ditegaskan Viktor Bungtilu Laiskodat dan Yoseph Nae Soi pada saat dua politisi ini dilantik menjadi Gubernur dan Wakil Gubernur NTT terpilih untuk Periode 2018-2023.
Yosep Nae Soi, saat kunjungan pribadi kepada Uskup Maumere, Mgr. Gerufus Kherubim Parera, SVD (Pos Kupang, 8 September 2018) mengatakan “Izin yang sudah ada dan masih berlaku akan kami cabut. Izin yang sementara proses akan dihentikan”.
“Tambang bukan pilihan yang baik untuk tingkatkan ekonomi rakyat NTT” ujar Viktor Bungtilus Laiskodat (Tempo, 10 September 2018).
Pernyataan dua pemimpin NTT ini bak angin surga, menjanjikan masa depan gemilang tanpa tambang bagi publik NTT. Janji ini bagi masyarakat di lingkar tambang yang sudah puluhan tahun berjibaku dengan persoalan tambang. Bukan kesejhteraan yang didapat dari tambang minerba justru kehilangan ruang produksi massal terjadi. Kemiskinan justru makin menjadi jadi. Wajarlah, masyarakat lingkar tambang begitu riang mendengar janji tersebut.
Rupanya, Pernyataan Viktor Bungtilu Laiskodat dan Yoseph Nae Soi yang semula memberi harapan bagi masyarakat NTT ternyata berbanding terbalik dengan isi Surat Keputusan (SK) Gubernur NTT No 359/KEP/HK/2018 tentang Penghentian Sementara Pemberian Izin Usaha Pertambangan Mineral dan Batubara di Provinsi Nusa Tenggara Timur yang disahkan pada 14 November 2018.
SK ini justru hanya berkutat pada evaluasi administrasi teknis dan financial yang, ujungnya hanya akan bermuara pada aspek tatakelola semata seperti clean and clear dan kewajiban keuangan perusahaan sebagaimana tertuang dalam Diktum Keempat poin b yang berbunyi ‘melakukan evaluasi administrasi, teknis, dan financial terhadap pemegang izin usaha pertambangan yang ada dan merekomedasikan kelayakan operasi dari pemegang IUP dimaksud’.
Parahnya lagi, SK yang ditandatangani Viktor Bungtilu Laiskodat ini hanya berlaku satu tahun (Diktum Ketujuh), dan hanya menghentikan sementara pemberian izin usaha pertambangan mineral dan batubara di provinsi Nusa Tenggara Timur (Diktuk Kesatu). Artinya yang dimoratorium itu hanya sebatas penghentian kegiatan pertambangan yang ada dan izin tambang baru sembari melakukan evaluasi izin tambang _exsisting_ yang semuanya berpotensi tetap beroperasi selama dinyatakan layak secara administratif.
Seluruh isi dari SK ini tidak ada satu diktum pun yang mencerminkan keseriusan Viktor Bungtilu Laiskodat dan Yoseph Nae Soi untuk menghentikan pertambangan di NTT sebagaimana digembar-gemborkan pada saat kampanye dan pidato perdana waktu pelantikan.
Mestinya, SK moratorium tambang di NTT sama sekali abai pada fakta empiris, soal sumber penghidupan mayoritas masyarakat yang bergantung pada sektor pertanian dan peternakan. Mengingat, kehadiran tambang di NTT sudah menimbulkan kerusakan yang amat parah-tak terpulihkan, seperti yang terjadi di Serise, Tumbak, Satarteu, Lengkololok di Manggarai Timur; Robek, Maki, dan Timbang di Manggarai; Desa Ekin, Kecamatan Lamaknen Selatan di Belu; Oenbit dan Biboki di Timor Tengah Utara, Supul dan Mollo di Timor Tengah Selatan; dan Wanggameti di Sumba Timur; Prai Karoku Jangga di Sumba Tengah.
Kehadiran tambang di wilayah-wilayah ini sudah dan sedang merampas tanah-tanah warga, merusak dan mencemari sumber air, merusak hutan dan situs-situs adat, mencemari laut, konflik sosial, intimidasi dan kriminalisasi yang berujung di penjara. Sialnya lagi pengorbanan sedemikian besar tidak berbanding lurus bagi pendapatan NTT. Sektor tambang Minerba hanya menyumbang 1 sampai 3 persen dari total PAD NTT dari tahun ke tahun.
SK Moratorium tambang di NTT juga luput untuk menegaskan perlunya langkah pemulihan sosial dan ekologi, sebab aktivitas pertambangan telah menimbulkan kerusakan yang dasyat bagi ruang hidup juga konflik sesama warga hingga saat ini.
Tambang Rakyat yang untung siapa?
SK Moratorium ternyata juga tidak melakukan moratorium tambang minerba secara menyeluruh dalam konteks pelaku. Tambang rakyat tetap dibiarkan beroperasi dengan catatan merupakan WPR ( Wilayah Pertambangan Rakyat). Pertanyaannya sejak kapan NTT mempunyai kebijakan sekaligus peta pertambangan rakyat. Bagi WALHI NTT, pelonggaran ini merupakan upaya untuk membebankan semua urusan teknis pertambangan kepada rakyat yang sebenarnya tidak memiliki skill yang mumpuni untuk urusan ini. Ujungnya bahan tambang tersebut tetap masuk ke perusahan.
Tambang rakyat pada prakteknya kerap adalah upaya cuci tangan perusahan tambang untuk tidak bertanggungjawab soal keselamatan kerja. Perusahan tinggal menerima hasilnya tanpa mengeluarkan biaya untuk kesehatan dan keselamtan pekerja. SK Moratorium ini sekali lagi gagap untuk membaca realitas skema licik bisnis tambang di NTT. Siapa yang bertanggungjawab dengan sekian korban yang meninggal dunia di lubang tambang mangan di Timor? Seperti yang terjadi pada Ida Ketrajara Alunpa yang tertimbun di lubang tambang mangan pertambangan rakyat pada 23 April 2010 silam.
Smelter tidak tersentuh SK Moratorium
Di tengah hiruk pikuk PILGUB NTT, pada 20 Juli 2018 silam, PLT Gubernur NTT, Robert Simbolon meresmikan pembangunan Smelter ferro mangan milik PT. Gulf Mangan Grup (Pos Kupang). Pembangunan smelter ini sebagai pertanda akan merajalelanya aktivitas pertambangan di NTT. Karena berdasarkan PP No 1 Tahun 2017 Yang Merupakan Atas Revisi PP No 1 Tahun 2014 Tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral Dan Batu Bara mengharuskan setiap usaha pertambangan Minerba wajib memiliki smelter. Artinya sebuah pertambangan hanya bisa beroperasi bila mempunyai smelter. Karena tidak boleh lagi melakukan ekspor bahan mentah hasil tambang.
Berlanjutnya pembangunan smelter ini dapat disimpulkan bahwa SK Moratorium Gubernur NTT menjadi tidak berarti apa apa. Toh, ketika smelter telah beroperasi maka secara regulasi maka perusahan tambang bisa beroperasi dengan alasan telah ada smelter. SK ini seperti pemberi harapan palsu saja kalau pembangunan smelter tidak dihentikan.
Adakah “pembisik gelap” dibalik terbitnya SK Moratorium?
Pada bisnis sumber daya alam, kekuasaan politik perlu disusupi agar menjaga ritme kelancaran bisnis. Cara ini biasanya digunakan oleh para pengusaha yang punya rekam jejak buruk dalam tata bisnis yang berkeadilan dan berkelanjutan. Oleh karenanya, potensi adanya pembisik gelap yang mengubah arah sebuh komitmen politik kekuasaan sangat mungkin terjadi dimanapun. Termasuk di NTT.
Hal ini bisa diantisipasi seandainya permintaan WALHI NTT sedari awal untuk melibatkan partisipasi publik dalam proses perjalanan moratorium dan penghentian tambang minerba di NTT diakomodir oleh pemerintah. Mulai dari perencanaan, draft hingga eksekusi penghentian. Namun yang terjadi sebaliknya, SK Moratorium ini bahkan tidak pernah diumumkan ke publik sejak ditandatangani. WALHI NTT justru mendaptkannya setelah melakukan permintaan secara organisatoris kepada pemerintah di NTT. Artinya agenda pelibatan publik oleh pemerintahan baru di NTT ini masih jauh dari harapan.
Resolusi 2019
Pertama, WALHI NTT mendorong adanya revisi terhadap SK Moratorium yang lebih mencerminkan janji janji politik gubernur dan wakil gubernur.
Kedua, meminta pemerintah NTT untuk melibatkan publik sedari awal untuk untuk melakukan dan mengawal proses moratorium dan penghentian tambang minerba di NTT
Ketiga, meminta pemerintah daerah NTT untuk menjadikan agenda pemulihan sosial ekologis di kawasan lingkar tambang sebagai prioritas dalam proses ini. Misalnya melakukan reklamasi lubang lubang tambang dan penguatan ekonomi lokal tanpa tambang
Keempat, meminta pemerintah NTT untuk memprioritaskan upaya upaya kemandirian pangan dan sumber daya air di NTT
Kelima, menagih janji politik gubernur dan wakil gubernur untuk serius memproses jalan menuju NTT sejahtera tanpa tambang minerba. Termasuk tambang minerba atas nama rakyat. Publik NTT tidak akan melupakan ini, “Izin yang sudah ada dan masih berlaku akan kami cabut. Izin yang sementara proses akan dihentikan”.
Nara Hubung: Umbu Wulang Tanaamahu Paranggi ( Direktur)