Pada 13 April 2020, Presiden Jokowi menerbitkan Peraturan Presiden (Perpres) No. 60 Tahun 2020 tentang Rencana Tata Ruang Kawasan Perkotaan Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, Bekasi, Puncak, dan Cianjur (Jabodetabek-Punjur). Aturan ini menggantikan regulasi sebelumnya, yaitu: Perpres No. 54 Tahun 2008 tentang Penataan Ruang Kawasan Jabodetabek-Punjur.
Perpes ini memiliki banyak catatan, mulai dari komitmen penyelamatan lingkungan yang belum memadai, perlindungan masyarakat yang sangat lemah dan rentan kehilangan sumber-sumper kehidupan, hingga rencana kelembagaan yang juga tidak memadai.
Raynaldo Sembiring, Direktur Eksekutif ICEL mengatakan bahwa “Perpres Nomor 60 Tahun 2020 mengatur Rencana Tata Ruang Kawasan Perkotaan yang mengacu kepada UU No. 26 Tahun 2007. Artinya muatan Perpres ini seharusnya ditujukan untuk penataan ruang darat pulau utama. Sehingga pengaturan mengenai pulau-pulau reklamasi menjadi tidak tepat. Karena pengaturan ruang pesisir 0-12 mil diatur dalam UU Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil. Seandainya pun mau dimuat dalam perencanaan, yang paling tepat adalah dalam RZWP3K DKI Jakarta. Hanya saja seperti yang kita ketahui Gubernur DKI Jakarta sudah berjanji untuk tidak melanjutkan reklamasi. Pengaturan pulau-pulau reklamasi berpotensi bertentangan dengan asas kepastian hukum.”
Selain itu Ia menambahkan “penataan ruang harus dijalankan berdasarkan asas kepentingan umum dan keberlanjutan. Untuk salah satu pulau yaitu pulau G, izinnya pernah digugat di pengadilan dan pertimbangan hakim menyatakan pulau G melanggar asas kepentingan umum dan dapat merusak lingkungan. Pertimbangan tidak pernah dianulir dalam tahap banding maupun kasasi. Karenanya masuknya pulau G dalam Perpres ini sebenarnya menunjukan ketidakcermatan dalam penyusunan.”
Bersamaan dengan itu Susan Herawati, Sekjend KIARA mengungkapkan bahwa “Perpres ini wajib untuk dikritik karena isinya melegalkan proyek reklamasi di Teluk Jakarta, khususnya Pulau C, D, G, dan N. Padahal proyek ini jelas-jelas telah melanggar hukum, merusak keberlanjutan sumber daya kelautan dan perikanan, serta menghancurkan penghidupan lebih dari 25 ribu nelayan di Teluk Jakarta dan di lebih dari 3.500 nelayan Kepulauan Seribu”. “Alih-alih memperlihatkan keberpihakannya kepada nelayan di Pesisir Jakarta, Kepulauan Seribu serta kelestarian sumber kelautan dan perikanan di Teluk Jakarta, Melalui Perpres ini Jokowi menunjukkan keberpihakannya kepada pengembang reklamasi yang akan menghancurkan masa depan Teluk Jakarta,” tegas Susan.
Meiki Paendong, Direktur WALHI Jabar menegaskan “Perpres ini belum menunjukan semangat perlindungan lingkungan hidup dan ekologi yang utuh”. Kawasan perkotaan Jabodetabek punjur masih dipandang sebagai kawasan strategis nasional dari sudut kepentingan ekonomi, yang pada akhirnya lingkungan hiduplah yang harus mengikuti. Lebih lanjut Meiki meminta agar Perpres ini ditinjau ulang dengan tentunya lebih mengedepankan penerapan prinsip kehati-hatian sejak dini (Precautionary Principle) dan azas semangat perlindungan lingkungan hidup. Bukan hanya semata-mata untuk kepentingan ekonomi kapital.
Senada dengan kondisi tersebut Tubagus Soleh Ahmadi, Direktur WALHI Jakarta menegaskan “bahwa kita tidak bisa berharap banyak dari Perpres ini, terutama dalam agenda pemulihan lingkungan hidup dan penyelamatan sumber-sumber kehidupan rakyat”. Evaluasi pemerintah terhadap dirinya sendiri bawah kejadian bencana ekologis selamai ini selama ini tidak berarti apa-apa, karena aktivitas dari model pembangunan yang semakin berdampak pada kerentanan lingkungan hidup masih terus diizinkan berjalan. Tubagus juga menilai bahwa Perpres ini menjukkan karakter “arogansi” Pemerintah Pusat.
CP:
- Raynaldo Sembiring, Direktur Eksekutif Indonesian Centre for Environmental Law (ICEL)
- Susan Herawati, Sekjend Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (KIARA) +6282111727050
- Meiki Paendong, Direktur Eksekutif WALHI Jawa Barat +6285721452117
- Tubagus Soleh Ahmadi, Direktur Eksekutif WALHI DKI Jakarta +6285693277933