Jakarta, 6 Desember 2018 - Masyarakat siipil yang tergabung dalam Koalisi Break Free from Coal mendesak pembahasan Rencana Umum Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) 2019-2027 yang sedang berlangsung dilakukan secara transparan. Permintaan ini sejalan dengan kekhawatiran yang telah disampaikan oleh SP PLN dalam konferensi pers kemarin, 5 Desember 2018, yang secara jelas mengkhawatirkan rekayasa para Direksi PLN agar pihak swasta yang dikawal oleh para elit negeri ini bisa mendapatkan proyek-proyek pembangkit tanpa prosedur yang wajar. Hendrik Siregar Peneliti Auriga Nusantara, menyampaikan, upaya pencegahan potensi korupsi dari proyek “siluman” yang masuk ke dalam RUPTL 2019-2027 harus dilakukan. “Pelibatan aparat penegak hukum, seperti KPK dalam pembahasan RUPTL penting dalam mencegah korupsi,” tegas Hendrik. Hendrik menuturkan, kasus korupsi PLTU Riau 1 telah membuka mata publik tentang bagaimana oligarki kepentingan bisnis pertambangan batubara yang menginginkan proyek tersbut berjalan. Keterlibatan aparat penegak hukum seperti KPK menjadi sangat penting untuk menghindari adanya bancakan mega proyek listrik 35.000 megawatt dalam proses penyusunan RUPTL 2019-2027. “Jangan sampai terulang kasus korupsi PLTU Riau 1. Proyek itu tiba-tiba muncul dalam RUPTL 2016-2025 dengan skema penunjukan langsung. Tidak ada transparansi dan keterbukaan dalam prosesnya,” kata Hendrik. Hindun Mulaika, Manajer Iklim dan Energi Greenpeace Indonesia menjelaskan PLN dalam penyusunan RUPTL 2019-2027 kali ini harus lebih realistis dalam melihat proyeksi pertumbuhan kebutuhan listrik. Selama ini, proyeksi pertumbuhan yang dipatok dalam RUPTL selalu jauh lebih tinggi ketimbang realisasinya. Proyeksi yang berlebihan membuat PLN menanggung beban membeli listrik yang tidak terserap oleh konsumen atau aset pembangkit menjadi jauh dibawah efisiensinya. “Kondisi keuangan PLN saat ini juga mengkhawatirkan. PLN mencatat kerugian sebesar Rp18,48 triliun pada laporan keuangan kuartal-III 2018. Kerugian PLN harus dilihat sebagai risiko nyata bagi kestabilan APBN kita. Jangan sampai uang rakyat terbuang percuma untuk kesalahan perencanaan dan tata kelola di sektor energi,” jelas Hindun. Berdasarkan RUPTL 2018—2027, asumsi pertumbuhan kebutuhan listrik turun menjadi 6,87%. Padahal, target pertumbuhan listrik pada RUPTL 2017—2026 sebesar 8,3%. “Sedangkan, realisasi pertumbuhan kebutuhan listrik hingga Semester 1 2018 hanya mencapai 4,7%,” ungkap Hindun. Dwi Sawung, Manajer Kampanye Perkotaan dan Energi Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) menyampaikan, pembahasan RUPTL 2019-2027 juga perlu menghapus 9 PLTU yang akan dibangun di Jawa-Bali. Pembatalan 9 proyek PLTU yang ada di RUPTL 2018-2026 itu diperlukan agar PLN dapat terhindar dari kerugian dan memitigasi dari dampak polutan yang dihasilkan. Sawung menjelaskan, kesembilan PLTU itu adalah, Jawa 9 dan 10 di Banten; Jawa 5 di Banten; Jawa 6 di Cikarang; Cirebon 2 di Cirebon; Tanjung Jati B di Jawa Tengah; Celukan Bawang 2 di Bali; Indramayu di Jawa Barat; Tanjung Jati A di Jawa Barat; Jawa 8 di Cilacap. Saat ini semua proyek berada dalam tahap pembangunan yang berbeda, mulai dari perencanaan, pengajuan ijin, dan beberapa sudah mengantongi kontrak power purchase agreement (PPA) dengan pihak PLN. Selain itu menurut Sawung, RUPTL 2019-2028 juga harus memasukan lebih banyak energi terbarukan dalam sistem ketenagalistrikan karena target tahun 2024 23% energi terbarukan di dalam rencana umum energi nasional sangat jauh dari capaian yang ada sekarang. “Komitmen Indonesia dalam kesepakatan Paris harus dapat tercermin jelas dalam dokumen RUPTL ini setiap tahunnya. Apabila batubara masih menempati porsi yang dominan, keseriusan Indonesia dalam melawan perubahan iklim patut dipertanyakan,” jelas Sawung. Narahubung: Hendrik Siregar, Auriga Nusantara: 087884120437 - [email protected] Hindun Mulaika, Greenpeace Indonesia: 08118407113 - [email protected] Dwi Sawung, WALHI: 08156104606 - [email protected]
Serikat Pekerja PLN Bergejolak, Masyarakat Sipil Desak Pembahasan RUPTL Transparan dan Melibatkan Penegak Hukum