Jakarta, 19 Januari 2018 . Koalisi Break Free From Coal Indonesia meluncurkan analisis singkat potensi kerugian ekonomi negara yang akan sangat besar apabila proyek-proyek raksasa PLTU batubara di pulau Jawa dan Bali tetap dilanjutkan dan mulai beroperasi. Menilik kembali RUPTL 2017- 2026, total kapasitas PLTU batubara yang tercatat dalam dokumen tersebut mencapai sekitar 17 ribu MW. Apabila pertumbuhan ekonomi tidak sesuai dengan asumsi awal yaitu sebesar 7,2%, maka diperkirakan akan terjadi kerugian ekonomi yang sangat besar dari banyaknya listrik yang tidak terserap oleh para konsumen. Listrik tidak seperti beras sekali diproduksi tidak bisa disimpan di dalam gudang, teknologi baterai penyimpanan kita masih sangat lemah. Secara aktual, realisasi pertumbuhan penjualan listrik PLN selama 5 tahun terakhir apabila dirata-rata hanya mencapai 4,4%. Apabila dianalisa lebih lanjut, jika RUPTL 2018-2027 tidak ada perubahan sama seperti RUPTL 2017-2026, maka pada tahun 2026 akan mengalami surplus listrik sebesar 71%. “Ini bukan hanya angka di atas kertas, tapi ini adalah proyek besar bernilai trilyunan rupiah yang akan terbuang percuma,” ungkap Hindun Mulaika, Juru Kampanye Iklim dan Energi Greenpeace Indonesia. “Pemerintah tentu tidak akan membiarkan PLN rugi dan bangkrut. Kebangkrutan PLN hanya akan menambah masalah, dimana credit rating negara bisa menurun dan membuat Indonesia kesulitan untuk melakukan pinjaman-pinjaman lainnya,” tambah Hindun Mulaika. “Kami melakukan kalkulasi, dan melihat satu per satu proyek PLTU Batubara yang direncanakan di pulau Jawa dan Bali saat ini. Dari perhitungan kami, terdapat 9 proyek PLTU batubara yang seharusnya dibatalkan, demi menjaga kestabilan keuangan negara dan menghindari kerugian rakyat yang lebih besar lagi. Hampir semua proyek tersebut juga memiliki konflik lahan, dampak lingkungan, dampak kesehatan dan kerugian ekonomi pada masyarakat setempat,” ucap Dwi Sawung, Pengkampanye Energi dan Perkotaan WALHI. Proyek-proyek tersebut mencakup Jawa 9 dan 10, Jawa 6, Cirebon 2, Tanjung Jati B, Celukan Bawang 2, Jawa 5, Indramayu, Jawa 8, Tanjung Jati A.
Kesembilan PLTU Batubara tersebut memiliki status yang berbeda-beda, mulai dari tahap perencanaan, tahap pengajuan ijin dan tahap Purchased Power Agreement (PPA). Nilai total dari pembangunan kesembilan PLTU Batubara tersebut bisa mencapai 350 triliun rupiah atau setara dengan USD 26 miliar. “Ini bukan jumlah yang sedikit, kerugian ini bisa dihindari dan tentunya banyak sektor lain yang lebih membutuhkan dana tersebut, seperti sektor pendidikan dan kesehatan yang masih jauh tertinggal,” jelas Hendrik Siregar, peneliti Auriga. “Ini kondisi yang tidak bisa lagi ditawar. Kementrian ESDM dan PLN harus mengeluarkan 9 proyek tersebut dalam RUPTL 2018 yang akan disahkan dalam waktu dekat ini,” tegas Melky Nahar, Kepala Kampanye JATAM. Memaksakan pembangunan PLTU batubara yang tidak dibutuhkan ini juga akan memperburuk kondisi di kawasan pertambangan batubara, eksploitasi batubara yang jelas merugikan rakyat akan semakin meluas dan masif,” tambah Melky. Kesalahan perencanaan listrik tidak hanya akan merugikan uang rakyat dan negara, tapi juga membuat lonjakan emisi karbon yang memicu pemanasan global. Indonesia punya segala hal yang dibutuhkan untuk menjadi pemimpin di dunia untuk mengurangi dampak perubahan iklim. Namun hal itu luput dilakukan. “Penambahan 9 PLTU batu bara telah mengingkari komitmen Indonesia dalam Kesepakatan Paris untuk menahan laju kenaikan suhu di bawah 2 derajat celcius ” ujar Irfan Toni Herlambang, Juru Kampanye Digital dari 350.org Indonesia. Kontak media: Hindun Mulaika, Juru Kampanye Iklim dan Energi Greenpeace Indonesia, 0811-8407-113 Dwi Sawung, Manager Kampanye Energi dan Perkotaan Esekutif Nasional WALHI 08156104606 Melky Nahar, Kepala Kampanye Jaringan Advokasi Tambang (JATAM), 0813-1978-9181 Hendrik Siregar, Peneliti Auriga, 085269135520 Irfan Toni H, Juru Kampanye Digital 350.org Indonesia, 08129900088, [email protected]