Pernyataan Sikap Hari Laut sedunia
Eksekutif Nasional WALHI
“LAUT UNTUK RAKYAT, LAUT UNTUK GENERASI MASA DEPAN”
Jakarta, 08 Juni 2022 – Planet bumi yang menjadi rumah bagi tujuh miliar lebih manusia, sering disebut sebagai planet biru. Pasalnya, lebih dari 70 persen permukaan bumi ditutupi oleh air laut. Dengan demikian, baik-buruk kondisi planet bumi sangat ditentukan oleh baik-buruk kondisi lautan. Betapa tidak, sebanyak 50–80 persen oksigen di planet ini dihasilkan berasal dari laut.1 Pada titik inilah, laut memegang kunci penting dalam penyelamatan planet ini.
Laut terbukti telah memberi makan masyarakat dunia. Data FAO tahun 2020 menyebut sebanyak 7,6 miliar manusia telah mengkonsumsi 178,5 juta ton ikan, yang terdiri dari 96,4 juta ton yang berasal dari perikanan tangkap, dan 82.1 berasal dari budidaya laut.2 Di Indonesia, lebih dari 250 juta orang terus mengkonsumsi ikan setiap hari. Pada tahun 2020, angka konsumsi ikan tercatat sebanyak 54,56 kg per kapita. Angka ini naik signifikan dari tahun 2015 yang tercatat hanya 41,11 kg per kapita.3 Berbagai data tersebut menegaskan bahwa laut merupakan sumber pangan yang sangat penting bagi kehidupan masyarakat luas.
Dalam kaitannya dengan krisis iklim, laut memiliki peran penting karena mampu menyerap karbon dioksida, terutama dengan adanya hewan dan tumbuhan laut. Ekosistem laut mampu menyerap 25 persen karbon global4. Penelitian terbaru yang dilakukan oleh Heidi Pearson, Ahli Biologi Kelautan, Universitas Alaska, yang dipublikasikan oleh The Conversation5, menjelaskan sekitar 2,5 juta paus pada tahun 2010 lalu mampu menahan hampir 210.000 ton karbon mati (deadfall carbon) per tahun ke lautan dalam. Jumlah tersebut setara dengan menarik sekitar 150.000 mobil dari jalanan setiap tahunnya.
Dalam riset yang terbit pada tahun 2012, Heidi Pearson menyebutkan bahwa dengan memakan bulu babi, berang-berang laut berpotensi memerangkap 150.000 hingga 22 juta ton karbon per tahun di hutan rumput laut.6
Selanjutnya, sebuah riset yang disebut dalam buku Kepunahan Keenam karya Elizabeth Kolbert menyebut, dalam terumbu karang terdapat sembilan juta spesies makhluk hidup yang hidup dan berkembang biak. Terumbu karang mirip dengan keberadaan hutan hujan tropis di darat. Di lautan dalam, juga banyak terdapat makhluk hidup yang sangat banyak dan beraneka ragam jenisnya. Semuanya ada sebagai penanda keseimbangan planet bumi.7
Ancaman Industri Ekstraktif dan Neo-Ekstraktif
Fungsi laut yang sangat penting bagi kehidupan masyarakat luas, kini terancam oleh ekspansi pembangunan yang bercorak ekstraktif. Dahulu kala, lokus-lokus pembangunan serta berbagai pusat pertumbuhan ekonomi dirancang di kawasan darat, terutama di wilayah perkotaan dan kawasan hutan. Jika di wilayah perkotaan dibangun banyak infrastruktur skala besar, maka di kawasan hutan corak pendorong pertumbuhan ekonomi dapat dilihat dalam bentuk proyek pertambangan dan perkebunan monokultur skala besar.
Tak ketinggalan, salah satu pendorong pertumbuhan ekonomi adalah sektor pertanian, dimana di dalamnya termasuk sektor peternakan. Semuanya berpusat di Kawasan daratan-daratan besar.
Kini, lokus pertumbuhan ekonomi didorong di lautan. Sejak lima tahun terakhir ada lebih dari 700 ribu hektar wilayah reklamasi. Sampai dengan tahun 2040, akan ada lebih dari 2,6 juta hektar kawasan reklamasi di seluruh Indonesia.8 Pembangunan ini terus didorong demi memenuhi ambisi pembangunan kota pantai atau water front city meniru negara-negara lain yang daratannya kecil. Selain itu, ada 687.909,01 hektar wilayah tambang di laut dan 2.919.870,93 hektar tambang di wilayah pesisir. Kedua proyek ini mengancam keberlangsungan terumbu karang, merusak ekosistem alami laut, dan menghancurkan kehidupan ratusan ribu masyarakat pesisir di indonesia.
Tak hanya itu, pembangunan pariwisata skala besar juga mengancam lautan di Indonesia. Dalam analisis WALHI terhadap 26 dokumen Peraturan Daerah Zonasi Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil, tercatat lebih dari 342 ribu hektar kawasan laut, pesisir, dan pulau-pulau kecil yang telah dialokasikan untuk kepentingan pariwisata. Jika reklamasi dan tambang termasuk dalam kategori industri ekstraktif, maka pariwisata masuk ke dalam kategori neo-ekstraktif. Disebut neo-ekstraktif karena tetap menggunakan pendekatan ekstraktif yang merusak. Pada saat yang sama pendekatan ekstraktif dikemas dengan dengan konsep ecotourism yang menjual keindahan alam dan budaya lokal.
Secara global, lautan dunia terancam oleh beragam industri yang permintaannya terus meningkat. Pasir laut adalah mineral yang paling banyak ditambang di lingkungan laut karena meningkatnya permintaan global dari industri konstruksi. Selain itu, izin eksplorasi pertambangan telah diberikan, dimana luasannya mencapai lebih dari seluas 1,3 juta km2. Lokasinya berada di dasar laut yang berada di wilayah di luar yurisdiksi negara.9
Sementara itu, dalam bidang perikanan, pengendalian, pengelolaan, hingga pengambilan keputusan dalam usaha perikanan dunia dikendalikan oleh 13 perusahaan transnasional. Sebaran perusahaan trans-nasional beserta negaranya adalah Norwegia (4), Jepang (3), Thailand (2), kemudian Hong Kong, Korea, Spanyol dan Amerika Serikat masing-masing 1 perusahaan. Tiga belas perusahaan transnasional tersebut mengendalikan 11-16% hasil tangkapan laut global yang setara 9-13 juta ton. Pendapatan tahunan total ketiga belas perusahaan tersebut setara dengan 18 persen dari nilai global produksi seafood tahun 2012 yakni sebesar US$252 miliar.10
Mereka menguasai dan mengendalikan hasil tangkapan ikan dunia sekitar 10 juta ton pada tahun 2012. Jika dibandingkan dengan 23 negara lain di dunia yang juga menangkap ikan, mereka ternyata hanya mampu berkontribusi dalam perikanan tangkap dunia lebih kurang 1 juta ton. Ketiga belas perusahaan tersebut juga menguasai 19-40% stok ikan bernilai ekonomis penting (seperti Thunnus obesus) yang juga berdampak terhadap eksploitasi berbagai jenis spesies seperti hiu, penyu dan burung laut yaitu sebagai kelompok predator dan berkontribusi penting terhadap struktur, fungsi, dan ketahanan ekosistem perairan laut. Menariknya, semua perusahaan ini: (i) mendominasi volume dan pendapatan bisnis seafood global, (ii) terhubung secara global melalui anak perusahaan dan jaringan operasi lainnya seperti keuangan global, (iii) mendominasi segmentasi produksi seafood secara global, dan (iv) memiliki keterwakilan dalam kebijakan dan manajemen perikanan tangkap dan akuakultur secara global. (Karim, 2021).
Tabel berikut ini menyajikan 13 perusahaan transnasional yang mengendalikan perikanan global.
Tabel 1. Tiga Belas Perusahaan Transnasional Pengendali Perikanan dan Bisnis Seafood Dunia
No |
Perusahaan |
Markas Besar |
Pasar |
1 |
Maruha Nichiro |
Tokyo, Jepang |
Perusahaan seafood yang beroperasi secara global dan aktif dalam sebagian besar segmen produksi seafood |
2 |
Nippon Suisan Kaisha (Nissui) |
Tokyo, Jepang |
Perusahaan seafood yang beroperasi secara global dan aktif dalam sebagian besar segmen produksi seafood |
3 |
Thai Union Frozen |
Samutsakorn, Thailand |
Produsen tuna kaleng terbesar dan pembudidaya udang terbesar kelima dunia (2011) |
4 |
Marine Harvest |
Bergen, Norwegia |
Produsen Salmon terbesar di dunia dan stoknya paling aktif diperdagangkan dalam bisnis seafood |
5 |
Dongwon Group |
Seoul, Selatan Korea |
Secara nasional menguasai 75% pangsa pasar tuna kaleng Korea dan juga sebagai produsen tuna terkemuka dunia (bersama dengan Thai Union) |
6 |
Skretting |
Stavanger, Norway |
Produsen pakan Salmon terkemuka di dunia |
7 |
Pescanova |
Pontevedra, Spanyol |
Produsen udang terbesar kedua di dunia dan perusahaan perikanan terbesar di Uni Eropa |
8 |
Austevoll Seafood |
Storebø, Norway |
Perusahaan tepung ikan terbesar dan produsen Salmon terbesar kedua di dunia |
9 |
Pacific Andes |
Hongkong, Cina |
Produsen tepung ikan terbesar kedua di dunia |
10 |
EWOS |
Oslo, Norwegia |
Produsen pakan Salmon terkemuka |
11 |
Kyokuyo |
Tokyo, Jepang |
Mirip dengan Maruha Nichiro dan Nissui yaitu sebagai perusahaan seafood yang beroperasi secara global dan aktif dalam segmen produksi seafood. Akan tetapi operasinya relatif lebih terbatas |
12 |
Charoen Pokphand Foods (CP Foods) |
Thailand |
Perusahan pertambakan udang sekaligus produsen pakannya terbesar di dunia |
13 |
Trident Seafood |
Seattle, USA |
Perusahaan Seafood terbesar di Amerika Utara |
Sumber: Karim (2021)
Desakan WALHI
Di tengah berbagai krisis yang tengah dihadapi, terutama krisis iklim dan krisis pangan, laut menjadi harapan kita pada masa yang akan datang. Selain mampu menyerap karbon dan menetralkan temperatur, laut juga tetap menjadi produsen sekaligus penyedia pangan yang sehat dan mencerdaskan masyarakat.
Namun lautan Indonesia tak lepas dari sejumlah persoalan serius yang mengancamnya, di antaranya pembangunan ekstraktif sekaligus neo-ekstraktif yang terus didorong oleh pemerintah Indonesia atas nama investasi dan pertumbuhan ekonomi. Proyek reklamasi, pertambangan pasir, dan industri pariwisata adalah tiga di antara pola pembangunan yang didorong secara massif oleh pemerintah. Dalam praktiknya, pemerintah bekerjasama dengan sektor swasta dalam mengekstraksi sumber daya laut.
Di dalam konteks global, hal serupa terjadi. Penambangan pasir serta pertambangan dasar laut akan terus dilakukan karena permintaan industri yang sangat tinggi. Hal ini akan mengancam keberlanjutan laut yang menjadi penyeimbang penting planet bumi. Selain itu, penguasaan 13 perusahaan terhadap sumber daya perikanan dunia, akan semakin memperparah krisis. Hal ini menunjukkan bahwa penguasaan laut oleh segelintir orang hanya akan melanggengkan ketidakadilan, terutama bagi negara-negara di selatan yang memiliki sumber daya laut yang sangat kaya seperti Indonesia.
Penguasaan sumber daya laut oleh segelintir orang harus segera diakhiri. Penguasaan sekaligus pengelolaan sumber daya laut harus diserahkan kepada masyarakat supaya aspek keberlanjutannya tetap terjaga dengan sangat baik. Puluhan juta laki-laki dan perempuan di Indonesia yang terlibat dalam perikanan skala kecil telah membentuk kelompok pengelola sumber daya laut. Mereka adalah masyarakat pesisir.
Mereka merupakan pemegang hak utama terutama mengenai sumber daya laut. Namun, di banyak tempat, mereka telah terpinggirkan oleh kepentingan perusahaan besar dan dikeluarkan dari wacana kebijakan. Karena ketidakseimbangan kekuatan ini, mereka menanggung biaya dan sering disalahkan atas kerusakan lingkungan yang disebabkan oleh industri skala besar.
Terlalu sering, mereka tidak diberi akses ke daerah penangkapan ikan mereka atas nama pembangunan pesisir, konservasi atau pengelolaan perikanan. Terlalu sering, mereka tidak berdaya untuk mencegah tanah dan perairannya dirampas untuk kepentingan industri. Padahal masyarakat pesisir telah terbukti menjadi pengelola lahan dan wilayah perairan yang lebih baik dari pada pemerintah dan Industri.
Atas dasar itu, WALHI mendesak sejumlah hal berikut:
- Mengajak segenap lapisan masyarakat untuk memperkuat simpul-simpul perjuangan rakyat, mempertahankan setiap jengkal wilayah kelola rakyat dari segala bentuk perampasan, mengawal supremasi hukum dan konstitusi.
- Mandat Pasal 33 Ayat 3 UUD 1945, wilayah perairan pesisir dan pulau-pulau kecil serta sumber-sumber kekayaan alam yang terkandung di dalamnya adalah termasuk wilayah dan sumber kekayaan alam yang dikuasai oleh negara. Sehingga, negara merumuskan kebijakan, melakukan pengaturan, pengurusan, pengelolaan, dan pengawasan terhadap wilayah perairan pesisir dan pulau-pulau kecil yang kesemuanya ditujukan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat. Dengan adanya frasa “dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat” pada Pasal 33 Ayat 3 UUD 1945, Mahkamah Konstitusi menetapkan bahwa ini merupakan tolak ukur utama bagi negara dalam menentukan pengurusan, pengaturan atau pengelolaan atas wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil. Hal ini menegaskan bahwa negara harus segera mengembalikan laut dan sumber dayanya kepada rakyat. Dalam hal ini WALHI menyerukan kepada pemerintah bahwa laut untuk rakyat, laut untuk generasi masa depan.
- Berkaitan dengan ketidakadilan penguasaan sumber daya laut, pemerintah Indonesia wajib segera mengevaluasi dan menyelesaikan ketidakadilan penguasaan sumber daya laut serta memberi kepastian hukum terkait ruang hidup, hak kelola dan hak akses secara kolektif dan dalam jangka panjang bagi masyarakat pesisir yang memanfaatkan sumberdaya laut dan pulau-pulau kecil sebagai sumber penghidupan mereka. Hal ini wajib dilakukan untuk menghindari penghancuran ruang hidup berbasis izin melalui berbagai jenis usaha-usaha ekstraktif di kawasan-kawasan pemanfaatan, antara lain: reklamasi, pertambangan, dan industri pariwisata yang terbukti meminggirkan hak masyarakat pesisir dan menghilangkan akses mereka untuk pemanfaatan sumber daya laut.
- Mencabut regulasi yang mempersulit kehidupan masyarakat pesisir dalam mengelola sumber daya laut. Adapun regulasi yang dimaksud tertulis di dalam tabel berikut:
Tabel 2. Regulasi terkait laut, pesisir, dan pulau-pulau kecil yang wajib dievaluasi oleh pemerintah
No |
Regulasi |
Catatan |
1. |
Permen KP No. 8/2019 tentang Penatausahaan Izin Pemanfaatan Pulau- Pulau Kecil dan Perairan Sekitarnya dalam Rangka Penanaman Modal Asing dan Rekomendasi Pemanfaatan Pulau-Pulau Kecil dengan luas di bawah 100 km² (Seratus Kilometer Persegi) |
|
2. |
Permen KP No. 24/2019 tentang Tata Cara Pemberian Izin Lokasi Perairan dan Izin Pengelolaan Perairan di Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil. |
|
3. |
Permen KP No. 25/2019 tentang Izin Pelaksanaan Reklamasi di Wilayah Pesisir dan Pulau -Pulau Kecil |
|
4. |
PP No. 18/2021 tentang Hak Pengelolaan, Hak Atas Tanah, Satuan Rumah Susun, dan Pendaftaran Tanah |
|
5. |
PP No. 27/2021 tentang Penyelenggaraan Bidang Kelautan dan Perikanan |
|
6. |
Undang-Undang No. 11/2020 tentang Cipta Kerja |
|
7. |
UU No. 3 Tahun 2020 tentang Mineral dan batubara |
|
Informasi Selanjutnya
Parid Ridwanuddin, Manajer Kampanye Pesisir dan Laut Eksekutif Nasional WALHI, di email [email protected]
Catatan Kaki:
- Silakan rujuk penelitian para ilmuwan terkini https://bit.ly/3xuUj47
- Silakan rujuk dokumen The State of World Fisheries and Aquaculture 2020 https://bit.ly/3aGiYtG
- Silakan rujuk Statistik Data Perikanan KKP RI, https://bit.ly/3NZvUsJ
- Silakan rujuk https://bit.ly/3Q5V8Yp
- Silakan rujuk, https://bit.ly/3xeqxiO
- Silakan rujuk, https://bit.ly/3xeqxiO
- Elizabeth Kolbert, Kepunahan Keenam: Sebuah Sejarah yang tak Alami, Jakarta: Gramedia, 2020, h. 144
- Selanjutnya rujuk, Tinjauan Lingkungan Hidup WALHI 2022, https://bit.ly/3mqETaH
- Selanjutnya silakan rujuk: https://bit.ly/3xfdGwT
- Muhammad Karim, G20 dan Politik Kelautan Kita: https://bit.ly/3Qbs29W