Pernyataan Sikap Hari Perempuan Sedunia
WALHI
“Perempuan Pejuang Lingkungan Kawal Konstitusi untuk Mewujudkan Keadilan Ekologis”
Setiap tanggal 8 Maret, seluruh dunia memperingati Hari Perempuan Sedunia. Perjuangan perempuan yang diperingati tanggal 8 Maret tidak terlepas dari berbagai penindasan, kekerasan dan ketidakadilan yang dialami perempuan dengan berbagai latar belakang dan identitas politiknya, seperti perempuan petani, perempuan adat, perempuan pesisir, perempuan nelayan, perempuan miskin kota dan perempuan marginal lainnya, akibat sistem negara dan korporasi.
Penindasan dan ketidakadilan perempuan semakin parah akibat negara dan korporasi terus menggunakan cara-cara kekerasan dan pendekatan militeristik yang merupakan cara-cara partiarkhi. Sistem pembangunan yang berorientasi pada eksploitasi SDA telah berdampak pada penghancuran ekologis dan perampasan pada ruang hidup dan hak rakyat, perempuan dan laki-laki. Kebijakan dan proyek-proyek yang diprioritaskan oleh Penyelenggara Negara, justru tidak berorientasi pada keberlanjutan lingkungan dan ekologis dan hak rakyat.
WALHI memandang, bahwa Penyelenggara Negara terus melakukan upaya-upaya penghancuran lingkungan, memonopoli dan mengeksploitasi sumber daya alam yang merupakan bentuk pembangkangan terhadap Undang-Undang Dasar 1945 sebagai Konstitusi Republik Indonesia, karena telah menghilangkan hak konstitusi rakyat, dan hak konstitusi perempuan di dalam mempertahankan dan menyelamatkan lingkungan hidupnya. Wilayah kelola perempuan terus terancam bahkan telah dirampas atas nama investasi dan proyek-proyek pembangunan yang hanya menguntungkan bagi korporasi.
Pendekatan militeristik yang terus dipertontonkan Penyelenggara Negara dalam ‘mengamankan’ investasi telah secara nyata memperparah konflik dan bencana ekologis yang terjadi, dan lebih lanjut semakin memperlebar kesenjangan dan ketidakadilan gender. Padahal konstitusi Indonesia telah menjamin hak rakyat atas lingkungan yang sehat dan bersih, sayangnya kebijakan dan proyek-proyek yang dilakukan justru banyak yang tidak sejalan dengan Konstitusi UUD 1945 Republik Indonesia.
Aksi-aksi dan gerakan perempuan yang terjadi tidak terlepas dari dampak proyek-proyek yang merampas sumber-sumber hidup, wilayah kelola perempuan dan keberlangsungan antar generasi. Perjuangan perempuan tidak terlepas dari pengalaman dan pengetahuan yang secara turun temurun telah menjaga alam untuk kehidupan dirinya, keluarga dan komunitasnya. Bahkan tidak sedikit kontribusi perempuan ke Negara dari aktivitas ekonomi perempuan yang bersumber dari alam, baik pesisir, hutan/kebun maupun lahan pertanian.
Peningkatan Daya Opresi Negara Terhadap Perempuan Pejuang Lingkungan
Tindak intimidasi, kekerasan dan kriminalisasi yang dilakukan aparat keamanan dan penyelenggara negara juga menyasar pada tubuh perempuan. Opresi negara terhadap perempuan, tidak hanya terjadi secara langsung, tetapi juga tidak langsung. Kriminalisasi yang terjadi pada suami, anak atau anggota keluarganya, juga menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari opresi negara terhadap perempuan. Ini terlihat pada Kasus tambang pasir besi di Desa Seluma – Bengkulu, yang diintimidasi, mengalami kekerasan dan 3 perempuan dikriminalkan karena aksi penolakan perempuan terhadap tambang pasir besi. Bahkan pada aksi tersebut, juga terdapat anak-anak yang mengalami kekerasan dari aparat keamanan. Kasus penolakan tambang di Parigi Moutong yang menewaskan 1 orang, telah meninggalkan trauma dan penderitaan bagi keluarganya, terutama ibunya, yang sampai saat ini masih menuntut keadilan atas tewasnya putra mereka, konflik tambang di Wawonii – Sulawesi Tenggara, dan banyak lagi kasus-kasus konflik SDA yang mengopresi perempuan.
Tindakan opresi yang dilakukan aparat negara, telah berdampak berlapis pada perempuan, tidak hanya pada kekerasan fisik, perempuan juga mengalami kekerasan psikis, kekerasan seksual, bahkan negara juga telah melakukan kekerasan ekonomi terhadap perempuan, karena telah menghilangkan kedaulatan perempuan atas sumber-sumber ekonominya.
Kebijakan Perlindungan Perempuan Terus Diabaikan
Indonesia telah memiliki kebijakan yang melindungi perempuan dan menghilangkan ketidakadilan gender. Sebut saja, UU No.7 Tahun 1984 tentang penghapusan segala bentuk diskriminasi terhadap perempuan, Instruksi Presiden No. 9 Tahun 2000 tentang Pengarusutamaan Gender (PUG), dan beberapa kebijakan lainnya, telah menegaskan pentingnya keterlibatan perempuan dan berbagai upaya untuk menghapus diskriminasi dan ketidakadilan gender. Bahkan Konstitusi Republik Indonesia Undang-Undang Dasar 1945 juga telah menegaskan hak perempuan sebagai warga negara yang harus diakui, dilindungi dan dipenuhi.
Sayangnya, kebijakan ini tidak diintegrasikan kepada seluruh kebijakan, terutama kebijakan berkaitan lingkungan hidup, sumber daya alam, dan pembangunan. UU Minerba dan UU Cipta Kerja atau dikenal omnibus law, adalah sedikit perundang-undangan yang tidak mempertimbangkan situasi, pengalaman dan pengetahuan local perempuan petani, perempuan nelayan, perempuan adat, perempuan miskin kota dan perempuan marginal lainnya. Bahkan yang terakhir, kehadiran UU Ibu Kota Negara juga tidak mempertimbangkan situasi perempuan dan tidak ada ruang bagi perempuan untuk menyampaikan pandangannya. Ini terbukti dengan tidak adanya kajian gender terhadap rencana pembangunan IKN di Kalimantan Timur.
Adanya perempuan sebagai legislator pembuat perundang-undangan di Indonesia, belum menjamin adanya keberpihakan terhadap perempuan. Meskipun, ini menjadi affirmative action dalam mendorong keterwakilan perempuan di Parlemen, namun penting secara perspektif keberpihakannya pada perempuan. Fakta bahwa kebijakan yang lahir tidak mempertimbangkan situasi dan kondisi perempuan, ditunjukkan dengan data-data kekerasan dan penindasan yang terjadi.
Seharusnya, kebijakan-kebijakan perlindungan perempuan diintegrasikan pada seluruh sektor, termasuk sektor lingkungan dan sumber daya alam. Karena situasi perempuan sangat terikat dengan situasi lingkungan dan sumber daya alamnya. Bahwa alam memiliki makna tersendiri bagi perempuan, tidak hanya dilihat sebagai ekonomi, tetapi juga merupakan ruang sosial dan budaya, serta berkaitan pada identitas politik perempuan.
Pergerakan Perempuan Pejuang Lingkungan.
Sejarah 8 Maret menjadi “Hari Perempuan Sedunia” tidak terlepas dari perjuangan perempuan untuk melawan sistem partiarkhi yang merusak lingkungan dan merampas hak-hak perempuan atas lingkungan hidup dan sumber daya alamnya.
Tingginya pengrusakan lingkungan yang memperparah situasi perempuan, telah mendorong perempuan-perempuan bergerak melawan penghancuran lingkungan. Gerakan perempuan untuk memperjuangkan lingkungan hidup terus meluas untuk menuntut keadilan ekologis. Meskipun suara-suara perempuan masih sering diabaikan oleh penyelenggara negara.
Pada Hari Perempuan Sedunia, 8 Maret 2022, WALHI sebagai organisasi lingkungan yang juga bersama perempuan pejuang lingkungan terus bergerak untuk menuntut Penyelenggara Negara menjalankan kewajiban dan tanggung jawabnya dalam melindungi dan memastikan keberlanjutan lingkungan dan hak-hak rakyat, termasuk perempuan, sebagaimana yang diamanatkan dalam Konstitusi Republik Indonesia Undang-Undang Dasar 1945.
Untuk itu, WALHI Menuntut Penyelenggara Negara untuk:
- Segera membatalkan dan mencabut UU Cipta Kerja (Omnibus Law), UU Minerba, UU Ibu Kota Negara dan segala kebijakan yang mengancam keberlanjutan lingkungan, merampas kedaulatan rakyat, perempuan dan laki-laki, atas lingkungan hidup dan sumber daya alam.
- Segera merancang kebijakan yang mendukung sistem tata kelola sumber daya alam yang lebih adil dan berkelanjutan dengan mengutamakan kepada pengakuan, penghormatan, dan perlindungan atas Wilayah Kelola Rakyat, serta berperspektif keadilan gender.
- Memastikan pelibatan penuh perempuan di dalam setiap tahapan proses penyusunan kebijakan maupun rencana proyek-proyek yang mempengaruhi lingkungan hidup dan hak-hak perempuan atas lingkungan yang sehat dan baik.
- Menghentikan keterlibatan militer dan aparat keamanan di dalam proyek-proyek pembangunan, dan menghentikan segala bentuk kekerasan, intimidasi dan kriminalisasi terhadap perempuan pembela HAM dan lingkungan.
Narahubung:
Uli Arta Siagian, Manajer Kampanye Hutan dan Kebun WALHI (+62 821-8261-9212)