Perampasan Ruang Laut dalam Pembangunan Ibu Kota Negara
Oleh: Parid Ridwanuddin
Manajer Kampanye Pesisir dan Laut Eksekutif Nasional WALHI
Undang-Undang No. 3 Tahun 2022 tentang Ibu Kota Negara (IKN) telah menetapkan kawasan perairan seluas 68.189,75 hektar di Kalimantan Timur sebagai perairan laut IKN. Anehnya, UU ini tidak memasukan Teluk Balikpapan seluas 16.000 hektar sebagai perairan laut IKN sebagai kawasan perlindungan yang dikelola oleh masyarakat. Teluk Balikpapan disebut-sebut sebagai pintu gerbang utama dan simpul penting dalam pembangunan IKN yang menyalurkan sumber daya dan manusia untuk perjalanan nasional dan internasional.
Berdasarkan hal itu, UU No. 3 Tahun 2022 menyebutkan, untuk mendukung proyek IKN akan dibangun dua pelabuhan penting, yaitu: pertama, Pelabuhan Semayang yang terletak di Teluk Balikpapan. Fungsinya, sebagai pelabuhan umum yang memiliki jalur pelayaran internasional serta melayani rute penumpang jarak jauh; kedua, Terminal Kariangau berada lebih jauh ke pedalaman di Teluk Balikpapan. Fungsinya sebagai pelabuhan kargo internasional.
Rencana pembangunan dua pelabuhan skala besar tersebut akan semakin memperburuk daya dukung dan daya tampung bentang alam Teluk Balikpapan yang kini telah dibebani izin industri seluas 3.917 hektar. Dalam narasi pembangunan IKN, Teluk Balikpapan hanya ditempatkan sebagai pelengkap bahkan objek eksploitasi. Nasibnya tak jauh berbeda dengan Teluk Jakarta.
Tidak dimasukannya Teluk Balikpapan ke dalam perairan laut IKN sebagai kawasan tangkap nelayan dan kawasan konservasi yang dikelola oleh masyarakat, sebagaimana telah diusulkan oleh berbagai kelompok masyarakat, mengindikasikan adanya praktik perampasan ruang laut yang akan dilanggengkan oleh UU IKN. Sebelumnya, Peraturan Daerah Provinsi Kalimatan Timur Tahun 2021 tentang Rencana Zonasi Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil Tahun 2021-2041 (Perda Zonasi Kalimantan Timur) telah mengalokasikan Teluk Balikpapan sebagai zona pelabuhan.
Baca juga, Rakyat gugat IKN
Karena telah dialokasikan sebagai zona Pelabuhan dalam Perda Zonasi Kalimantan Timur, keluarga nelayan yang tinggal di 27 desa pesisir di sepanjang Teluk Balikpapan, dipaksa harus menangkap ikan lebih jauh ke Laut Jawa atau Selat Makasar.
UU IKN didesain dengan sengaja tidak memberikan koreksi serius terhadap alokasi ruang laut di Teluk Balikpapan yang tidak memberikan ruang hidup bagi nelayan di Balikpapan dan Penajam Paser Utara. Berdasarkan data BPS Kalimantan Timur (2020) terdapat 4.126 keluarga nelayan di Kabupaten Penajam Paser Utara dan 6.118 keluarga nelayan di Kota Balikpapan yang menggantungkan hidupnya pada sumber daya ikan di Teluk Balikpapan.
Sumber daya ikan di Teluk Balikpapan terbukti telah memberikan sumbangan yang nyata. BPS Kalimantan Timur mencatat, produksi perikanan tangkap di Balikpapan sepanjnag tahun 2019–2020 sebanyak 9.791 ton. Nilai ekonomi perikanannya tercatat sebanyak Rp. 220.508.868. Sementara itu, produksi perikanan tangkap di Penajem Paser Utara sepanjang tahun 2019–2020 sebanyak 12.916 ton. Nilai ekonomi perikanannya sebanyak Rp384.764.868.
Perampasan Ruang Laut
Istilah “perampasan ruang laut” (ocean grabbing) digunakan oleh The Transnational Institute untuk menyoroti proses dan dinamika penting yang berdampak negatif terhadap masyarakat dan komunitas yang cara hidup, identitas budaya, dan mata pencahariannya bergantung pada keterlibatan mereka dalam penangkapan ikan skala kecil. Perampasan ruang laut terjadi melalui kebijakan, undang-undang, dan praktik yang mendefinisikan dan mengalokasikan akses, penggunaan, dan kontrol sumber daya perikanan jauh dari nelayan skala kecil dan komunitasnya.
Dalam pembangunan IKN, perampasan ruang laut sangat nyata terlihat karena meminggirkan nelayan dari ruang hidupnya yang telah dikelola secara turun temurun. UU No. 3 Tahun 2022 dan Perda Zonasi Kalimantan Timur tidak menempatkan masyarakat pesisir, khususnya nelayan sebagai pemilik dan pengelola Teluk Balikpapan. Lebih jauh, Perda Zonasi Kalimantan Timur tidak memberikan alokasi pemukiman nelayan di Teluk Balikpapan.
Tak hanya itu, baik di dalam UU No. 3 Tahun 2022 maupun Perda Zonasi Kalimantan Timur, hutan mangrove seluas 16.800 hektar di Teluk Balikpapan tidak diprioritaskan untuk dilindungi dari ekspansi industri ekstraktif. Hal ini sangat bertentangan dengan target pemerintah untuk merehabilitasi mangrove seluas 600 ribu hektar sampai tahun 2024.
Dengan demikian, pembangunan IKN hanya akan melanggengkan perampasan ruang laut dan eksploitasi sumber daya alam di wilayah pesisir. Proyek ambisius ini penting untuk dievaluasi dan dihentikan karena tidak akan berdampak baik bagi kehidupan masyarakat, khususnya lebih dari 10 ribu keluarga nelayan di Teluk Balikpapan. (*)