Pemerintah Mengkhianati Mandat Cagar Biosfer TN Komodo

 

03 Agustus 2022

Rilis WALHI NTT bersama 34 Lembaga Anggota di NTT; Menyikapi Kondisi Terkini di Labuan Bajo dan Kawasan Taman Nasional Komodo

Pemerintah Mengkhianati Mandat Cagar Biosfer TN Komodo

Kondisi di Labuan Bajo saat ini tidak kondusif bagi kebebasan berdemokrasi. Kekerasan dan penangkapan terhadap komunitas pariwisata kerakyatan telah terjadi. Sekalipun aksi mereka adalah aksi damai untuk menyuarakan aspirasi mereka. Saat ini sudah puluhan orang mengalami kekerasan fisik, diintimidasi, ditangkap dan ditahan. Situasi ini menunjukan keengganan pemerintah dalam menyikapi kekritisan warga negara terhadap kebijakan pembangunan. Kondisi ini juga sebagai bukti kemunduran demokrasi di Indonesia umumnya dan khususnya di NTT.

WALHI NTT menilai bahwa kondisi suram ini dimulai dari kebijakan pemerintah yang sejak awal salah urus Kawasan Taman Nasional Komodo. Harga tiket masuk Kawasan Pulau Padar dan Pulau Komodo yang dinaikkan secara serampangan sebesar 3.750.000 rupiah oleh pemerintah hanyalah salah satu fakta pemicu tingginya gelombang penolakan warga.

Sejak 2019 isu terkait pengelolaan Kawasan Taman Nasional Komodo terus menuai kontroversi di ruang publik. Mulai dari penetapan Labuan Bajo sebagai Kawasan Strategis Pariwisata Nasional -KSPN- (dengan menjadikan Taman Nasional Komodo sebagai Simbol Utama) hingga niat pemerintah untuk merelokasi warga lokal dari Pulau Komodo. Kebijakan dan rencana kebijakan yang kontroversial dari pemerintah inilah yang telah menimbulkan suasana ketidaknyamanan publik.

Berikut ini catatan WALHI NTT terkait kegagalan pemerintah dalam mengurus Kawasan Taman Nasional Komodo sebagai World Heritage Site dan Cagar Biosfer Dunia serta Labuan Bajo sebagai KSPN yang membuat publik terus mengkritisi setiap kebijakan pemerintah terkait pariwisata di Taman Nasional Komodo,

Kawasan TNK

  1. Taman Nasional Komodo (TNK) yang telah berjalan 42 tahun gagal untuk menjalankan tiga mandat utama cagar biosfer yakni pelestarian keanekaragaman hayati/satwa, peningkatan kesejahteraan ekonomi rakyat dengan mekanisme ekonomi ramah lingkungan dan berkeadilan dan pemuliaan kebudayaan rakyat. Contohnya, populasi Komodo yang terus terancam kuantitasnya dan ekosistemnya, kesejahteraan ekonomi masyarakat di kawasan TNK yang masih rendah, minimnya pelibatan kebudayaan lokal dalam membangun narasi-narasi pengetahuan konservasi dan perlindungan Ata Modo.
  2. Rencana relokasi masyarakat Pulau Komodo adalah bukti kegagalan pemerintah untuk melakukan pemuliaan kebudayaan Ata Modo.
  3. Sistem zonasi laut oleh TNK yang justru mempersulit kehidupan masyarakat nelayan atas nama konservasi.
  4. Pemberian izin konsesi pariwisata kepada perusahaan di tapak konservasi Komodo yang mencapai ratusan hektar. Dari penelusuran setidaknya saat ini ada tiga perusahaan yang mengantongi izin yakni PT. Segara Komodo Lestari, yang mendapatkan IUPSWA No 7/1/IUPSWA/PMDN/2013 untuk lahan seluas 22,1 hektar di Pulau Rinca yang ditetapkan melalui SK Kemenhut No. 5.557/Menhut/II/2013. Kedua, SK.796/Menhut-II/2014 yang memberikan Izin Usaha Penyediaan Sarana Wisata Alam (IUPSWA) kepada PT. Komodo Wildlife Ecotourism (KWE) di Pulau Padar dan Pulau Komodo yang terdiri atas 274,81 hektar (19,6% dari luas Pulau Padar) dan 154,6 Ha (3,8% dari luas Pulau Komodo). Ketiga, izin buat PT Synergindo Niagatama di atas lahan seluas 6,490 hektar di Pulau Tatawa.

Ini membuktikan pemerintah mengkhianati mandat konservasi cagar biosfer. Di satu sisi, menaikkan harga tiket dengan alasan konservasi tapi di sisi lain memberikan izin perusahaan untuk beroperasi di kawasan tapak konservasi Komodo yakni di Pulau Rinca, Pulau Padar dan Pulau Komodo.

  1. Badan Taman Nasional Komodo gagal untuk melindungi kawasan ekosistem Komodo dari praktek praktek ilegal seperti pencurian rusa sebagai salah satu mata rantai makanan Komodo, pengeboman ikan di laut.
  2. Badan Taman Nasional Komodo yang dengan mudah mengubah Zona Inti menjadi Zona Pemanfaatan agar kran investasi pariwisata makin meluas di Kawasan TNK.

Labuan Bajo

  1. Maraknya Industri perhotelan yang di Labuan Bajo melanggar peraturan Presiden No 51 Tentang Batas Sempadan Pantai Sempadan tidak ditindak tegas. Fenomena ini telah mengakibatkan menurun drastisnya ruang publik dan ruang penghidupan rakyat di Kawasan pesisir di Labuan Bajo

Atas kondisi kondisi di atas, WALHI NTT sebagai organisasi forum lingkungan yang beranggotakan 34 lembaga anggota di NTT, menyatakan sikap bahwa :

  1. Meminta pemerintah untuk tidak melanjutkan proses penangkapan dan tindak kekerasan lain kepada para pelaku pariwisata kecil di Labuan Bajo yang sedang menggunakan haknya sebagai warga negara untuk turut serta mengkritisi kebijakan kebijakan pemerintah.
  2. Meminta pemerintah untuk menghormati hak warga negara dan Hak Asasi Manusia yang telah diatur dalam undang-undang maupun konvenan PBB.
  3. Meminta pemerintah memperbaiki komunikasi publiknya dan berhenti menggunakan aparat keamanan untuk melakukan praktek-praktek kekerasan membungkam kekritisan warga negara.
  4. Meminta pemerintah untuk melakukan pemulihan kesehatan fisik dan psikologis bagi para korban represif beserta dengan keluarganya yang terdampak.
  5. Meminta pemerintah untuk melakukan konsultasi publik (bila diperlukan referendum kebijakan di tingkat warga) yang transparan dan akuntabel dalam pembuatan kebijakan yang berdampak luas bagi publik.
  6. Meminta pemerintah untuk menghormati kekritisan warga sebagai bentuk meningkatnya kesadaran kritis warga negara dalam mewujudkan pembangunan yang mensejahterakan dan berkeadilan bagi semua.
  7. Meminta pemerintah untuk membatalkan kenaikan harga tiket yang telah diputuskan secara sepihak tanpa berkomunikasi atau tanpa mendengarkan aspirasi para pelaku pariwisata dan masyarakat.
  8. Meminta KLHK untuk mencabut seluruh izin konsesi pariwisata IPPA (Izin Pengusahaan Pariwisata Alam) dalam skala besar dan berbasis rakus lahan, rakus air dan rakus energi di Pulau Rinca, Pulau Padar dan Pulau Komodo serta kawasan TNK lainnya. Misalnya izin PT. SKL dan KWE dan lain lain.

Salam Adil dan Lestari

Narahubung :
Umbu Wulang Tanaamah Paranggi (Direktur Eksekutif WALHI NTT)