Jakarta, 3 November 2016
Non Party Stakeholders (NPS) seperti local communities, dunia usaha, pemerintah kota, lembaga swadaya masyarakat (LSM), dan Masyarakat Adat kini menjadi salah satu aktor penting dalam pengendalian perubahan iklim. Kolaborasi pemerintah dengan LSM dan masyarakat adat sangat dibutuhkan dalam memperjuangkan isu Indonesia dalam Konferensi PBB untuk Perubahan Iklim (Confernce of Parties/COP) dan juga implementasi dari hasil COP. Hal ini disampaikan dalam media briefing menjelang COP 22 pada Kamis (3/11) di Jakarta. Hadir dalam diskusi tersebut adalah Emma Rachmawati, Direktur Mitigasi Perubahan Iklim KLHK., Nur Hidayati Direktur Eksekutif Nasional WALHI, Monica Tanuhandaru Direktur Eksekutif Kemitraan, serta Emmy Primadona Program Manager KKI Warsi. Menurut Direktur Mitigasi Perubahan Iklim KLHK, Emma Rachmawati, Indonesia merupakan salah satu negara yang sudah berhasil meratifikasi Persetujuan Paris. Delegasi Indonesia akan semakin percaya diri dan mempunyai daya tawar yang lebih saat perundingan COP22. “Guna mencapai target penurunan emisi, pemerintah sudah menyiapkan berbagai instrument, hanya tinggal proses implementasinya saja.
Karena itu perlu dukungan semua pihak agar poin-poin yang ada di dalam NDC dalam berjalan baik. Bagi LSM yang bergerak di bidang lingkungan hidup dan kehutanan bisa berfokus pada sektor penggunaan lahan, pengelolaan hutan alam, dan sektor energi juga” kata dia. Menurut Nur Hidayati, pekerjaan terberat pasca ratifikasi Paris Agreement adalah implementasinya. Penurunan emisi GRK yang tajam baik dari sektor energi dan kehutanan mutlak diperlukan jika Indonesia ingin memberikan kontribusi yang bermakna. Di sektor kehutanan, penegakan hukum terhadap perusahaan penyebab emisi dan evaluasi seluruh perijinan kehutanan adalah prasyarat untuk memperbaiki kinerja penurunan emisi deri sektor kehutanan. Di sektor energi, penurunan emisi yang tajam dilakukan dengan berangsur-angsur menurunkan pemakaian energi fossil dan beralih kepada energi terbarukan. Pengelolaan sektor Kehutanan akan lebih efektif jika melibatkan masyarakat dengan pendekatan pembangunan desa , seperti yang dikemukakan oleh Direktur Eksekutif Kemitraan, Monica Tanuhandaru, “Perhutanan sosial dapat menjadi alternatif dalam pengelolaan sektor kehutanan dan membangun pertumbuhan ekonomi desa dan dan berkontribusi dalam tujuan pembangunan berkelanjutan ( SDGs – Sustainable Development Goals) , program ini dapat melibatkan masyarakat yang tinggal di sekitar hutan untuk berkolaborasi bersama membantu menjaga hutan dan melawan perubahan iklim.”Presiden Jokowi telah menyatakan perhutanan sosial akan diperluas dengan melanjutkan program-program lanjutan untuk memperkuat kemampuan warga di sekitar kawasan hutan, mulai dari penyiapan sarana dan prasarana produksi, pelatihan dan penyuluhan, akses pada informasi pasar, akses pada teknologi, akses pembiayaan, dan penyiapan pasca panen. Emmy Primadona mengatakan, “Peran masyarakat lokal dalam pengelolaan sektor kehutanan menjadi vital, ini karena masyarakat memiliki kearifan lokal yang sudah diwariskan turun-temurun.
Masyarakat lokal lebih paham bagaimana melakukannya dibanding pemerintah, ini yang diabaikan oleh pemerintah.” Di kesempatan terpisah, Abdon Nababan mengatakan bahwa Masyarakat Adat sebagai pemangku hak, pengelola dan penjaga keberlanjutan kehidupan di wilayah adatnya masing-masing merupakan kunci utama dalam upaya mitigasi perubahan iklim di Indonesia saat ini. “Masyarakat Adat punya sistem nilai, pengetahuan dan kepentingan jangka panjang untuk melindungi Hutan di wilayah adatnya, karena hutan adalah rumah dan bahkan menjadi bagian tak terpisahkan dari identitas budaya mereka sendiri. Hal ini yang tidak disadari oleh pemerintah selama ini, keberadaan mereka sering dipandang sebagai penghambat pembangunan ekonomi, dikucilkan dan bahkan dikriminalisasi, padahal tujuan kita sama : sama-sama mau membuat Indonesia menjadi lebih baik, menjaga hutan tetap menjadi rumah keanekaragaman hayati, menyediakan air yang cukup sepanjang tahun, pangan dan energi yang berkelanjutan bagi umat manusia” Konferensi PBB untuk Perubahan Iklim (Confernce of Parties/COP) digelar untuk mencapai tujuan stabilisasi konsentrasi gas rumah kaca/emisi karbon di atmosfer karena penting untuk mencegah dampak berbahaya perubahan iklim bagi seluruh kehidupan di bumi. Selama ini Indonesia berperan penting dan aktif dalam perjanjian perubahan iklim. Pada tahun ini Indonesia kembali menjadi bagian dari 100 negara lebih yang akan ikut serta pada Conference of Parties (COP) ke 22 di Marrakech, Maroko pada 7 – 18 November 2016. COP 22 Marrakech memiliki agenda penting untuk memulai persiapan berlakunya Perjanjian Paris (Paris Agreement) tentang Perubahan Iklim yang telah disepakati di COP 21. Kesepakatan tersebut antara lain menjaga ambang batas kenaikan suhu bumi pada 2030 di bawah dua derajat Celcius dan berupaya menekan hingga 1,5 derajat Celcius dari suhu bumi pada masa pra-industri. *** Selesai ***
Kontak Media : Yayasan Perspektif Baru Kinanthi Sekar Melati Telp 0858-9263-8974 E-mail: [email protected]