Belum lama ini WALHI, JATAM Kaltim dan satu petani serta satu nelayan menggelar sidang pertama uji materi Undang-Undang Minerba ke Mahkamah Konstitusi, yang dilaksanakan pekan lalu pada hari Senin, 9 Agustus 2021. Kemudian, hari ini, Senin 23 Agustus 2021, merupakan sidang kedua dengan agenda Perbaikan Permohonan Uji Materi UU Minerba. Namun, jauh sebelum WALHI mengajukan uji materi, pembahasan perihal UU Minerba sebenarnya sudah mendapat aksi penolakan dari beragam khalayak, mulai dari masyarakat daerah sekitar tambang, petani, nelayan, serta berbagai LSM.
Meskipun mendapat protes dan kecaman dari masyarakat luas, DPR tetap ngotot untuk mengesahkan revisi UU Minerba No. 3 Tahun 2020, yang kemudian ditandatangani oleh Presiden pada 10 Juni 2020. Padahal isi pasal-pasal dalam UU Minerba sangat kontroversial bahkan mengabaikan sisi konservasi lingkungan hidup serta jauh dari tujuan mensejahterakan masyarakat luas.
Apa saja resiko yang bakal dialami oleh masyarakat akibat adanya UU Minerba ini?
1. Masyarakat Tidak Lagi Bisa Protes ke Pemerintah Daerah
Sebelum UU No. 4 Tahun 2009 dihapus dan digantikan dengan UU Minerba, sebuah perusahaan atau perorangan apabila ingin melakukan aktifitas pertambangan di suatu daerah harus ijin dulu ke Pemda Kabupaten atau Kota setempat. Dimana nantinya Pemda di tiap lokasi pertambangan memiliki tugas dalam melakukan pembinaan, penyelesaian konflik bahkan pengawasan usaha pertambangan.
Nah, dengan adanya peran pemerintah daerah ini, kalau terjadi konflik antara perusahaan tambang dan masyarakat wilayah tambang, Pemda dapat berperan layaknya mediator. Jadi setiap ada laporan masyarakat terkait pelanggaran yang dilakukan oleh perusahaan tambang, apabila terbukti bersalah, maka Pemda memiliki kewenangan untuk menghentikan sementara bahkan mencabut Ijin Usaha Pertambangan (IUP).
Sayangnya, dengan disahkan UU Minerba No. 3 Tahun 2020, mulai sekarang kalau ada masyarakat yang dirugikan akibat ulah perusahaan tambang, baik itu berupa perusakan lingkungan hidup ataupun terjadi konflik sengketa lahan, Pemda tidak lagi bisa melakukan tindakan apapun. Karena seluruh kewenangan pertambangan diatur oleh pemerintah pusat, bukan lagi Pemda Kabupaten atau Kota setempat.
Jadi saat ini masyarakat yang ingin melakukan protes terkait aktifitas tambang di daerahnya, maka harus melapor ke pemerintah pusat atau minimal provinsi. Padahal sejauh ini lokasi tambang kebanyakan ada di daerah terpencil bahkan luar Jawa. Aturan ini sangat jauh dari logika tata kelola pemerintahan yang baik, pasalnya masyarakat yang tinggal di wilayah pertambangan tidak bisa berbuat banyak ketika lingkungannya rusak akibat ulah perusahaan tambang.
2. Resiko Dipolisikan Apabila Menolak Perusahaan Tambang
Bak jatuh tertimpa tangga, masyarakat daerah yang dirugikan akibat aktifitas perusahaan tambang yang merusak ruang hidupnya bukan hanya tidak bisa lagi melapor ke Pemda. Lebih parah lagi, terlihat dari bunyi Pasal 162 UU Minerba No. 3 Tahun 2020, bahwa masyarakat yang mencoba mengganggu aktifitas pertambangan dalam bentuk apapun bisa dilaporkan balik oleh perusahaan dan dijatuhi pidana, bahkan denda hingga sebesar 100 juta rupiah.
Aturan yang sangat tidak masuk akal ini justru melenggang kangkung dan diapresiasi oleh Presiden, di tengah maraknya ketidakadilan dan kriminalisasi yang banyak dilakukan oleh perusahaan terhadap masyarakat daerah tambang. Melalui UU Minerba yang baru ini masyarakat daerah selain bakal dihabisi kekayaan alamnya oleh segelintir konglomerat tambang, mereka yang mencoba menolak daerahnya untuk diesploitasi bakal kena pidana.
3. Perusahaan Tambang Masih Bisa Beroperasi Meskipun Terbukti Merusak Lingkungan
Ada lagi peraturan yang terkesan memanjakan pengusaha dari segi tanggung jawab perbaikan lahan bekas tambang. Aturan perbaikan lahan bekas tambang ini terdiri dari dua kegiatan yang terpisah, yakni reklamasi dan kegiatan pascatambang. Sebelum membahas permasalahan aturan yang menguntungkan pengusaha tambang ini, maka perlu kiranya memahami perbedaan antara Reklamasi dan Kegiatan Pascatambang.
Reklamasi yaitu aktifitas untuk memulihkan ekosistem supaya bisa berfungsi kembali seperti sedia kala. Sedangkan Kegiatan Pascatambang yakni aktifitas perbaikan lahan bekas tambang untuk memulihkan kembali fungsi lingkungan, dan fungsi sosial menurut kondisi lokal di seluruh wilayah penambangan.
Kalau mengikuti aturan UU No. 4 Tahun 2009, perusahaan tambang wajib melakukan semua kegiatan Reklamasi dan Kegiatan Pascatambang sekaligus menyetor dana jaminan Reklamasi dan Pascatambang. Meskipun ada aturan seperti ini, nyatanya di lapangan masih saja banyak terjadi pelanggaran berupa lubang-lubang bekas tambang batubara dibiarkan terbuka dan menjadi danau raksasa yang menelan korban jiwa.
Bukannya mempertegas aturan Reklamasi dan Kegiatan Pascatambang, alih-alih mempidanakan perusahaan yang tidak memperbaiki lahan bekas tambang, ajaibnya pemerintah justru membuat aturan baru yang membebaskan kewajiban pengusaha tambang perusak lingkungan dengan jalan merubah isi Undang-Undang. Seperti tertulis dalam UU Minerba Pasal 96 huruf b, kewajiban perusahaan dalam perbaikan lahan bekas tambang sekarang ini cukup mengerjakan salah satu kewajiban perbaikan saja. Perusahaan tambang bisa bebas memilih antara Kegiatan Reklamasi atau Kegiatan Pascatambang.
Tidak hanya itu, perusahaan yang terbukti abai dan tidak melaksanakan reklamasi ataupun kegiatan pascatambang, ternyata tetap bisa memperpanjang ijin kontraknya. Bahkan sesuai dengan UU Minerba Pasal 169A, dengan dalih meningkatkan penerimaan negara, pemerintah malah memberi jaminan perpanjangan kontrak berupa KK dan PKP2B sebanyak 2 kali 10 tahun.
4. Perusahaan Tambang Bisa Mengeruk Keuntungan Sebanyak Mungkin, Bahkan Mendapat Jaminan Royalti 0%
Bisa dibilang UU Minerba No. 3 Tahun 2020 ini merupakan kado terbaik dari pemerintah untuk pengusaha dan kabar buruk bagi masyarakat daerah tambang di Indonesia . Bagaimana tidak, seakan belum cukup dengan pemberian tiket eksploitasi sumber daya alam yang masif dan destruktif kepada segelintir konglomerat pengusaha tambang, pemerintah secara gamblang memberi lampu hijau bagi pelaku kegiatan eksploitasi sumber daya alam tak terbarukan di bumi Indonesia dengan bebas biaya.
Di dalam Pasal 128A Naskah UU Cipta Kerja No. 11 Tahun 2020 pengganti UU Minerba, dijelaskan bahwa pelaku usaha yang bisa meningkatkan nilai tambah batu bara akan mendapat perlakuan istimewa berupa pengenaan royalti sebesar 0%. Padahal selama ini royalti yang ditentukan oleh pemerintah pada pengusaha tambang merupakan bagian pendapatan negara dan masuk sebagai pendapatan daerah melalui mekanisme Dana Bagi Hasil.
Jelas sekali melalui UU Minerba No. 3 Tahun 2020 serta beberapa perubahan Pasal dalam UU Cipta Kerja, Pemerintah Pusat bersama dengan segelintir konglomerat pengusaha tambang sangat bernafsu untuk menghabisi sumber daya alam yang masih tersisa di Indonesia. Bukannya menjaga lingkungan hidup dari bencana kerusakan ekologis, Pemerintah justru semakin bersemangat untuk melakukan eksploitasi sebesar-besarnya tanpa lagi mempedulikan nasib masa depan masyarakat daerah tambang.
Sidang Pertama Uji Materi UU Minerba No. 3 Tahun 2020
Sidang Kedua Agenda Perbaikan Permohonan Uji Materi UU Minerba No. 3 Tahun 2020