Siaran Pers Bersama
Menolak Pertambangan Emas Terbesar di Pulau Jawa dan Kepunahan Massal
Jakarta, 24-26 Oktober 2022
Setelah memicu krisis sosial–ekologis di Banyuwangi, tampaknya perluasan industri pertambangan emas di Jawa Timur juga segera mengancam keselamatan ruang hidup masyarakat Trenggalek. Cerita ini bermula sejak terbitnya Surat Keputusan (SK) Bupati Trenggalek nomor 702/2005. Lewat SK Bupati itu, PT Sumber Mineral Nusantara (SMN) mengantongi izin konsesi eksplorasi pertambangan seluas 17.586 hektare.
Selanjutnya, pada tahun 2007, Pemerintah Kabupaten Trenggalek memberikan perpanjangan kuasa pertambangan wilayah eksplorasi PT SMN dan memperluasnya hingga mencapai 30.044 hektare. Luasan tersebut sangatlah di luar nalar akal sehat karena mencaplok seperempat luas keseluruhan wilayah Kabupaten Trenggalek.
Lima tahun kemudian, Pemerintah Kabupaten Trenggalek juga membuat ketetapan baru dengan terbitnya Keputusan Bupati Trenggalek nomor 188.45/963/406.004/2012, yang mengubah luas areal pertambangan menjadi 29.969 hektare.
Tak ingin kampungnya mengalami kerusakan dan kebangkrutan secara sosial-ekologis oleh industri pertambangan, ribuan warga dari berbagai desa di sekitar kawasan konsesi mulai melakukan protes dan menggalang perlawanan. Pada tahun 2013, gerakan perlawanan warga tersebut berhasil menghentikan segala aktivitas pengambilan sampel dan kendaraan alat berat milik PT SMN.
Namun, seolah tak ingin menggubris tuntutan penolakan dan protes warga yang terus meluas, empat tahun kemudian, Dinas ESDM Jawa Timur menerbitkan rekomendasi teknis penambahan jangka waktu IUP (izin usaha pertambangan) melalui dokumen nomor 545/605/119.2/2016, tertanggal 29 Februari 2016, yang disusul dengan keluarnya Keputusan Gubernur Jatim nomor P2T/70/15.01.III/2016 tentang perubahan jangka waktu IUP PT SMN, tertanggal 22 Maret 2016 dan berlaku hingga 2018.
Saat ini diketahui, PT SMN mengantongi Izin Usaha Pertambangan (IUP) operasi produksi emas dan mineral pengikut (DMP) berdasarkan Keputusan Gubernur Jawa Timur nomor P2T/57/15.02/VI/2019. Dengan izin yang berlaku hingga 2029 tersebut, PT SMN mengantongi wilayah konsesi seluas 12.813,41 hektare yang tersebar di sembilan kecamatan, yakni Tugu, Karangan, Suruh, Pule, Gandusari, Dongko, Kampak, Munjungan, dan Watulimo.
Menolak Kepunahan Massal dan Penguatan Keselamatan Sosial-Ekologis Pulau Jawa
Untuk mencegah perluasan krisis sosial-ekologis dari kehadiran industri pertambangan PT SMN di Trenggalek
Aliansi Rakyat Trenggalek (ART) dan WALHI Jawa Timur telah mendesak Pemerintah Kabupaten Trenggalek agar segera menerbitkan payung hukum dan berbagai langkah strategis guna peningkatan perlindungan dan penyelamatan ruang hidup pada tahun 2021.
Namun, usulan itu sepertinya terganjal oleh pemerintah pusat, karena surat permohonan Nur Arifin (Bupati Trenggalek) kepada Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (KESDM) pada 18 Mei 2021 agar meninjau ulang IUP Operasi Produksi PT SMN berujung buntu. KESDM dalam surat tanggapannya, bernomor T-687/MB.04.DJB.M/2022, tertanggal 12 Februari 2022, menyatakan “Direktorat Jenderal Mineral dan Batubara sesuai kewenangannya memastikan PT SMN melakukan kegiatan pertambangan dengan menerapkan kaidah pertambangan yang baik dan benar (good mining practice)…,”. Pada tanggal 8 Agustus 2022, Bupati Trenggalek juga kembali mengirimkan surat permohonan pembatalan IUP–Operasi Produksi PT SMN kepada Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Republik Indonesia.
Adapun beberapa poin utama yang menjadi dasar permohonan pembatalan IUP PT SMN yang termaktub dalam surat yang dikirim oleh Bupati Trenggalek tersebut adalah: a) Bahwa IUP PT SMN bertentangan dengan Peraturan Daerah Kabupaten Trenggalek Nomor 15 Tahun 2012 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten Trenggalek Tahun 2012-2032, b) Bahwa IUP PT SMN berada di kawasan lindung, c) Bahwa IUP PT SMN berada di kawasan rawan bencana, d) Bahwa PT SMN tidak mematuhi kewajiban ketentuan Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Nomor 25 Tahun 2018 tentang Pengusahaan Pertambangan Mineral dan Batubara, e) Bahwa IUP PT SMN berada di atas wilayah pemukiman penduduk dan lahan pertanian produktif milik masyarakat.
Namun, lagi-lagi pemerintah pusat–KESDM tampaknya tidak bergeming dan terkesan mengabaikan permohonan Bupati Trenggalek dan tuntutan warga yang akan terdampak oleh industri pertambangan PT SMN tersebut.
Patut diketahui, dari 120.500 hektare luas keseluruhan wilayah Trenggalek, setengahnya merupakan areal kawasan hutan. Luasannya mencapai 62.024,50 hektare, terdiri atas 17.988,40 hektare hutan lindung, 44.036,10 hektare hutan produksi, dan hutan wisata seluas 64,3 hektare. Selain itu, juga terdapat bentang kawasan ekosistem karst seluas 53.506,67 hektare yang tersebar di 13 kecamatan dan 108 desa dari proses evolusi jutaan tahun. Bagi warga Trenggalek, hutan dan karst adalah jantung utama penggerak seluruh urat nadi kehidupan yang menopang keberlangsungan dan kekayaan keragaman hayati yang berlimpah di seluruh wilayah hulu dan hilir. Melalui sistem air bawah tanahnya yang unik, kawasan karst telah menyediakan air untuk manusia dan makhluk hidup lainnya.
Kawasan hutan dan karst juga dikenal memiliki peran penting dalam menahan laju perubahan iklim karena kemampuannya menyerap dan mengikat karbon. Kami memprediksi, rencana kegiatan pertambangan PT SMN di Trenggalek, selain akan mengganggu dan merusak seluruh urat ekologi juga akan memicu laju peningkatan krisis iklim. Akibatnya, ancaman pemanasan global yang mengarah pada pemusnahan seluruh makhluk hidup dan jejaring kehidupan akan segera menyapu dan mengubah kondisi material warga Trenggalek dalam kehidupan sehari-hari.
Selain itu, ketergantungan masyarakat Trenggalek terhadap keselamatan sumber daya air dari kawasan pegunungan karst yang menjadi kawasan IUP PT SMN juga terbilang sangat tinggi. Hal ini tampak pada data sumber air penduduk Kabupaten Trenggalek yang menyebutkan bahwa sebagian besar masyarakat masih mengandalkan sumber mata air dari kawasan karst dan air sumur bawah tanah. Tercatat, hanya 0,94 persen dari seluruh jumlah penduduk Trenggalek yang menggunakan air bersih yang disediakan oleh Perusahaan Daerah Air Minum (PDAM).
Selanjutnya, patut digarisbawahi bahwa jika infrastruktur bagi pemerintah pusat kerap diartikan dan dilekatkan pada sejumlah bangunan dan instalasi pembangunan seperti jalan tol, pelabuhan, PLTU, dan bandar udara, maka bagi warga Trenggalek justru bermakna sebaliknya. Bagi warga, “infrastruktur kehidupan” kampung paling penting adalah berupa: gugusan pegunungan, kawasan hutan dan karst, sungai, pesisir, karang, mangrove, keragaman biota dan vegetasi lainnya. Karena disitulah seluruh jejaring kehidupan, seperti kegiatan produksi, ekonomi, kehidupan sosial, budaya, sistem kepercayaan, dan ekologi dibangun–dipelihara dalam putaran siklus kehidupan.
Lebih jauh, hampir seluruh kawasan di Trenggalek juga memiliki karakter pegunungan dan perbukitan yang didominasi oleh kelerengan terjal. Setidaknya terdapat 32.076,13 hektare yang tercatat memiliki tingkat kemiringan 25-40 persen, dan 28.378,11 hektare lainnya memiliki tingkat kemiringan di atas 40 persen. Peraturan Daerah nomor 15/2012 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Kabupaten Trenggalek 2012-2032 juga telah menggarisbawahi bahwa 9 kecamatan yang berada dan berbatasan langsung dengan wilayah IUP SMN merupakan kecamatan-kecamatan berstatus rawan bencana tanah longsor dan banjir. Dengan aspek risiko sedimentasi dan suspensi yang dapat terjadi dalam wilayah pertambangan, seperti perubahan bentang lahan dan kestabilan tanah, maka operasi pertambangan emas di Trenggalek akan meningkatkan angka kerentanan bencana terhadap 9 kecamatan tersebut, dan 5 kecamatan lainnya.
Selain poin-poin di atas, juga patut menjadi catatan khusus bahwa pada tahun 2011, aktivitas pertambangan PT SMN di Bima, Nusa Tenggara Barat telah menyulut perlawanan warga setempat karena menyebabkan kerusakan lahan pertanian dan sumber air minum. Puncaknya, pada 24 Desember 2011, perlawanan itu berujung bentrok dan mengakibatkan 3 warga meninggal dunia, serta puluhan lainnya mengalami luka-luka. Dengan rekam jejak PT SMN di Bima tersebut, kami merasa khawatir peristiwa kekerasan serupa dan krisis sosial-ekologis yang ditinggalkannya dapat terjadi di bumi Trenggalek.
Sekali lagi, selain akan merusak puluhan ribu hektare kawasan pertanian, kawasan hutan dan karst, kawasan pesisir, permukiman, dan memicu peningkatan laju krisis sosial-ekologis lainnya, wilayah IUP SMN yang mencaplok 9 kecamatan ini juga akan mengancam keselamatan sedikitnya 148.900 jiwa, atau 20 persen penduduk Trenggalek
Tuntutan
- Menuntut Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (KESDM) Republik Indonesia agar mencabut WIUP dan IUP OP Emas DMP PT Sumber Mineral Nusantara dari Kabupaten Trenggalek.
- Menuntut Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) Republik Indonesia agar tidak memberikan Persetujuan Pemakaian Kawasan Hutan (PPKH) untuk kepentingan pertambangan PT Sumber Mineral Nusantara yang beroperasi di Kabupaten Trenggalek.
- Menuntut Kementerian ATR/BPN Republik Indonesia agar segera: Mengeluarkan surat teguran/sangsi ke Provinsi Jawa Timur sebagai penerbit IUP OP PT SMN karena melanggar peraturannya sendiri, yaitu Peraturan Gubernur (Pergub) Nomor 80 tahun 2014 tentang pemanfaatan ruang pada kawasan pengendalian ketat skala regional Jawa Timur yang mewajibkan perusahaan mengurus izin pemanfaatan ruang sebelum terbitnya IUP OP.
- Mereview, merekomendasi, dan mendesak Pemerintah Provinsi Jawa Timur agar tidak memasukkan kawasan pertambangan dalam perubahan Perda RTRW Kabupaten Trenggalek.
Narahubung:
0813-5618-1517 (Jhe Mukti)
0812-3175-6711 (Trigus)
Hormat kami:
Aliansi Rakyat Trenggalek
MHH PP Muhammadiyah
LHKP PP Muhammadiyah
GP Ansor Trenggalek
PD Muhammadiyah Trenggalek
Pemuda Muhammadiyah Trenggalek
Pemuda Gereja Trenggalek
Fatayat NU Trenggalek
Kader Hijau Muhammadiyah Trenggalek
Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah Trenggalek
Sima Swantatra
Laskar Empu Sendok
ARPT
Niponk
Jaringan Advokasi Tambang–Jatam
Eksekutif Nasional Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI)
WALHI Jawa Timur