Siaran Pers WALHI
Mempertanyakan Klaim Menteri Pertanian atas Keberhasilan Food Estate
Menteri Pertanian pada rapat-rapat dengan Komisi IV DPR RI, Senin (11/4/2022), mengklaim program Food Estate berhasil 100% wilayah pertama, "Tiga tempat baru untuk Food Estate secara keseluruhan 100% berhasil dengan baik," ujar Menteri Pertanian (Mentan) Syahrul Yasin Limpo. Ketiga wilayah tersebut, berdasar keterangan Menteri Pertanian pada beberapa media menjelaskan, lokasi Food Estate yang diklaim berhasil berada di:
- Kalimantan Tengah, 30.000 Ha (Lahan Intensifikasi)
- Sumatera Utara, Humbang Hasundutan 1.500 Ha (Pembukaan Lahan Hutan)
- NTT, sudah tersedia 5.000 Ha
Klaim ini mengabaikan fakta di lapangan, setidaknya ada 2 persoalan mendasar:
Pertama, pengabaian terhadap lingkungan hidup. Pada kasus di Kalimantan Tengah ekosistem gambut dan Kawasan hutan diabaikan untuk monokultur skala luas. Dalam paparan Kementerian Pertahanan, di paparan awal KLHS, setidaknya 486.164 Ha lahan awal di Kalimantan Tengah berasal dari Kawasan Hutan (Lahan AOI, Blok Katingan, Kapuas, Blok Gunung Mas). Sedangkan, Rencana pembangunan Food Estate di Papua akan mengakibatkan konversi kawasan Hutan Lindung, Hutan Produksi, Hutan Produksi Tetap dan Hutan Konversi seluas 2.684.461,54 hektar konversi kawasan Hutan Lindung, Hutan Produksi, Hutan Produksi Tetap dan Hutan Konversi seluas 2.684.461,54 hektar.
Kedua, pengabaian terhadap petani. Komunitas masyarakat adat dan lokal sebagai subyek produsen pangan, konsepsi Food Estate sebagai pangan skala luas, tidak hanya berdampak pada lingkungan, tetapi juga pada hak masyarakat adat.
Pada kasus di Sumatera Utara, terdapat 1.500 Ha pembukaan lahan berada di kawasan hutan, pembagian lahan tersebut terdiri dari: Dirjen Holtikultura 200 Ha (sudah beroperasi), Balitbang Pertanian 15 Ha (sudah beroperasi), PT. Indofood 200 Ha (sudah beroperasi), PT. Indofood 200 Ha (sudah beroperasi), PT. Champ 250 Ha (sudah beroperasi), PT. Calbee Wings 200 Ha (sudah beroperasi), 4 Perusahaan Swasta 225 Ha (sudah beroperasi), PT. DEL 500 Ha (sudah beroperasi). Kawasan Food Estate juga bersinggungan dengan hutan adat Pandumaan Sipituhuta seluas ± 2.041 hektar, pada kawasan Food Estate di NTT subyek produsen pangan juga bukan petani kecil.
Merujuk pada sejarah Food Estate, dari PLG (Proyek Lahan Gambut), MIFEE, hingga saat ini tidak pernah berdampak signifikan pada ketersediaan pangan, pada akhirnya penyediaan pangan yang teruji adalah bersandar pada produksi petani berbasis keluarga, serta memperhatikan daya dukung dan daya tampung lingkungan hidup.
Dalam konteks pengakuan hak kelola pangan petani, harusnya pendekatannya adalah keberlanjutan (merujuk pada sosial dan lingkungan). Jika mengacu pada UU 41/2009 Tentang Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan, secara spesifik mendefinisikan petani pangan sebagai setiap warga negara Indonesia beserta keluarganya yang mengusahakan lahan untuk komoditas pangan pokok di Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan (pasal 1, ayat 12). Bahkan secara spesifik UU 41/2009 menjelaskan tujuan di antaranya spesifik menyebutkan “melindungi kepemilikan lahan pertanian pangan milik petani;” (Pasal 3 point D). Sayangnya pemerintah saat ini justru meletakkan penyediaan pangan pada model monokultur skala luas yang terkesan mengabaikan petani kecil berbasis keluarga sebagai subyeknya.
Menyikapi klaim Menteri Pertanian
Direktur Eksekutif Daerah WALHI Kalimantan Tengah, Bayu Herinata menyampaikan untuk Food Estate komoditas singkong dari luasan yang menjadi Area Of Interest (AoI) tahap pertama seluas 32.000 Ha hasil pantauan kami di lapangan telah membuka kawasan hutan seluas kurang lebih 600 Ha dan telah memberikan dampak kerusakan lingkungan karena terjadi banjir yang melanda desa-desa terdekat dari lokasi yang telah dibuka.
Sedangkan untuk Food Estate komoditas padi, dari luasan 30.000 Ha lahan untuk intensifikasi yang dialokasikan oleh Kementerian Pertanian yaitu kembali membuka lahan-lahan gambut dan kanal-kanal yang berada di ekosistem gambut fungsi lindung salah satu lokasinya yaitu areal blok A Ex-PLG yang berada di kecamatan Dadahup kabupaten Kapuas. Lokasi yang sama juga merupakan areal prioritas restorasi gambut yang dilakukan oleh Badan Restorasi Gambut sebelumnya. Kegiatan pembukaan lahan gambut dan kanal-kanal untuk pengairan lahan pertanian dinilai kontraproduktif dengan upaya restorasi gambut dengan membangun infrastruktur pembasahan gambut berupa sekat kanal dan penanaman kembali lahan gambut.
Pemerintah harus menghentikan upaya perluasan atau ekstensifikasi lahan Food Estate di kawasan gambut dan kawasan hutan di Kalteng, juga melakukan evaluasi terhadap kegiatan intensifikasi Food Estate yang telah dilakukan karena dampak kerusakan lingkungan dan kerugian ekonomi sosial yang lebih besar akan diterima oleh masyarakat jika program ini dipaksakan untuk terus dilaksanakan.
Sementara Direktur Eksekutif Daerah WALHI Papua, Maikel Primus Peuki menyatakan bahwa arahan lokasi Food Estate di Papua seluas ± 2.684.680,68 hektar. Lebih dari dua juta hektar berada di kawasan hutan. Tidak dapat dielakkan, kebijakan tersebut akan mendorong laju konversi dan deforestasi di Papua;
Sebagian besar tanah Papua merupakan wilayah adat, program Food Estate yang berbasis korporasi petani akan mengorbankan wilayah adat dan kearifan dalam pemanfaatannya.
Program Food Estate hanya akan mempertegas dominasi investasi, meningkatkan pelanggaran HAM sekaligus pengabaian hak konstitusional Orang Asli Papua diatas tanahnya sendiri. Potensi deforestasi yang begitu besar sama artinya menaruh Masyarakat Adat dan Orang Asli Papua di bawah bayang ancaman bencana ekologis; Bagi Masyarakat Adat Papua hutan adalah mama yang memberi kehidupan. Mencukupi kebutuhan dan menyediakan segala yang diperlukan secara gratis.
Program Food Estate di Papua harus dihentikan. Pemerintah maupun Pemerintah Otonomi Khusus lebih baik menaruh fokus melahirkan kebijakan yang memastikan dipenuhinya daulat Orang Asli Papua atas wilayah adat dan hutan dan hak lainnya.
Roy Lumban Gaol dari Eksekutif Daerah WALHI Sumatera Utara menyampaikan, "Program Food Estate karpet merah bagi korporasi untuk penguasaan lahan dan sumber daya alam" bahwa 1.500 Ha lahan pembukaan saat ini nyatanya dibagi-bagi kepada korporasi, sementara masyarakat petani hanya sebagai buruh. Dampak pembukaan lahan tersebut akan berpotensi menghilangkan terhadap keberadaan sumber mata air dan penghilangan hutan kemenyan sebagai komoditi lokal yang dikelola secara turun temurun oleh masyarakat lokal. Roy menyerukan untuk menghentikan Food Estate di Sumatera Utara dan mengembalikan kedaulatan pangan kepada petani bukan penguasaan korporasi.
Umbu Wulang, Direktur Eksekutif Daerah WALHI NTT menyampaikan klaim Menteri Pertanian itu menyesatkan dalam konteks, pertama, keberpihakan pada petani miskin. Klaim 5.000 hektar yang dimaksud oleh Menteri Pertanian adalah kawasan Food Estate yang ada di Sumba Tengah. Tagline dari Food Estate di Sumba Tengah adalah untuk mengurangi kemiskinan. Dalam laporan masyarakat yang diterima WALHI NTT, kepemilikan lahan di kawasan Food Estate itu diduga justru didominasi para pejabat daerah dan kalangan menengah ke atas secara ekonomi. Masyarakat petani kecil justru mendapat bagian paling sedikit. Dan kebanyakan dari mereka karena ketidakberdayaan ekonomi sudah menggadaikan lahannya sebelum program Food Estate dicanangkan di kawasan tersebut. Kondisi ini bagi WALHI NTT justru paradoks dengan klaim keberhasilan Menteri Pertanian. "Menteri Pertanian seharusnya ketika klaim keberhasilan jangan bicarakan aspek produksi pangannya yang sebenarnya juga bermasalah di lapangan. Tapi berani tidak Menteri Pertanian buka data ke publik, berapa jumlah petani miskin yang punya lahan di kawasan tersebut. Berani juga tidak buka data, tentang tata kuasa lahan di kawasan Food Estate tersebut. Termasuk Berapa persen kontribusi Food Estate pada pengurangan kemiskinan di Sumba Tengah. Sebagaimana kita ketahui angka kemiskinan di Sumba Tengah mencapai 34,27 persen dari total penduduk," ujar Umbu Wulang Tanaamah Paranggi, Direktur Eksekutif Daerah WALHI NTT. Dalam konteks keberpihakan pada petani kecil dan marjinal, proyek Food Estate di Sumba Tengah gagal. Hal ini ditambah dengan masih munculnya konflik agraria antara masyarakat dan pemerintah daerah pada tahun 2021.
Kedua, daya dukung dan daya tampung lingkungan. Pemerintah berencana untuk menambah kawasan Food Estate menjadi 20 ribu hektar dengan mengedepankan embung dan sumur bor sebagai sumber pengairan. WALHI NTT memperingatkan bahaya kekeringan luar biasa yang akan melanda apabila pemaksaan penggunaan air tanah dilakukan terus menerus. "Yang 5.000 hektar saja, penggunaan air tanah mencapai 88 persen untuk pengairan. Ini membuktikan bahwa tidak ada kajian daya dukung dan daya tampung lingkungan dalam proyek ini. Masa daerah yang memiliki air permukaan sangat kecil dipaksakan dengan proyek Food Estate yang massif. Ini berbahaya untuk ketersediaan air tanah. Tahun lalu saja, embung mengering dan kesulitan dapatkan air tanah," tegas Umbu Wulang.
WALHI NTT meminta Menteri Pertanian untuk menghentikan proyek Food Estate tersebut dan mengedepankan pertanian yang ramah lingkungan dan berkeadilan.
Salam Adil dan Lestari!
Narahubung
Maikel Primus Peuki, WALHI Papua (0822 4800 0233)
Umbu Wulang Tanaamahu Paranggi, WALHI NTT (0813 2424 0024)
Bayu Herinata, WALHI Kalteng (0822 5511 5115)
Roy Lumban Gaol, WALHI Sumut (0822 7656 8624)
Uliarta Siagian, Manajer Kampanye Hutan Kebun (0821 8261 9212)
Wahyu A Perdana, Manajer Kampanye Ekosistem Esensial (0821 1239 5919)