Diskusi dan refleksi kaitannya dengan demokrasi dan masa depan gerakan lingkungan hidup ini dilaksanakan bertepatan dengan ulang tahun WALHI, yakni tanggal 15 Oktober 2019. Diskusi ini juga sebagai bagian dari rangkaian acara ulang tahun.
Diskusi digelar di aula serba guna kantor Eksekutif Nasional WALHI, Jalan Tegal Parang Utara No. 14 – Mampang, Jakarta Selatan. Peserta yang hadir kurang lebih sekitar 200 orang yang terdiri dari organisasi anggota dan sahabat WALHI, serta jaringan organisasi (serikat buruh dan petani) dan pemuda yang terdiri dari mahasiswa dari berbagai kampus dan pelajar se Jabodetabek. Sebagian besar peserta adalah anak-anak muda yang dari jumlah memang didominasi laki-laki, namun bukan berarti jumlah perempuan sangat minor, jumlah perempuan yang hadir cukup signifikan atau hampir setengah jumlah laki-laki.
Kegiatan diskusi ini digelar dengan tujuan untuk merefleksikan demokrasi di Indonesia dan melihat peluang-peluang strategis yang dilakukan oleh gerakan sosial? Selain itu, alasan utamanya adalah merespon situasi ekonomi politik ekologi Indonesia yang menegang di bulan September; revisi 74 RUU, kebakaran hutan, represi aparat kepada demonstran dll.
Disesi pertama, diskusi berjalan seperti biasa, setiap narasumber memantik dengan memberi penjelasan dan analisa apa yang sedang terjadi di Indonesia. Nur Hidayati (Direktur Eksekutif Nasional WALHI) mengatakan, Melihat kondisi terakhir di negara kita, membuat pesimis, karena makin hari kondisi persoalan lingkungan hidup tidak membaik walaupun reformasi sudah 20 tahun. Namun, di akhir September kemarin membuat kita optimis karena kaum muda kembali tersadar dan peduli - mereka terus menyuarakan kegelisahan kita.
Pasca reformasi, demokrasi kita semakin liberal dan bebas, yang kita sebut saat ini adalah “Oligarki.” Oligarki merupakan perkawinan antara pengusaha dan penguasa sehingga menyebabkan dampak negatif terhadap rakyat. Oligarki melakukan eksploitasi higga pelosok pelosok negri ini.
Saat ini kita berada di titik persimpangan, apakah kita ingin membimbingnya atau mengikuti kehancuran demokrasi kita saat ini? demokrasi yang terancam.
Pemnatik lain, M. Isnur dari YLBHI (Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia) yang menyoroti hak asasi manusia mengatakan, hukum sudah menjadi alat bagi negara - sebagai senjata untuk melawan mereka yang mengganggu pergerakannya. 1.100 orang di tangkap hanya karena melakukan demonstrasi, bukan hanya mahasiswa dan pelajar bahkan tukang parkir, ojol, jurnalis juga di tangkap tanpa informasi terhadap keluarga hingga kini.
Dari informasi kami, 170 orang di tahan dan 350 menjadi tersangka, upaya-upaya menyuarakan itu selalu dibungkam.
Ombudsman RI memiliki kesimpulan ini bukan kesalahan oknum, ini permasalahan komando (struktural). Selanjutnya Yahya dari Pengurus Besar AMAN (Aliansi Masyarakat Adat Nusantara) yang memantik soal pengelaman politik gerakan masyarakat adat di Indonesia mengatakan, Untuk mewujudkan demokrasi yang substansial diperlukan gerakan kolektif. kita tetap melakukan pemilu namun perampasan tetap terjadi. Kita berdemokrasi tanpa kebebasan, pertanyaan besarnya adalah bagaimana kemudian kita menyudahi demokrasi kosong ini?
Lebih lanjut menurut Yahya, AMAN mulai mencoba untuk intervensi pemilu, gerakan tersebut kita mulai sejak 2009. Karena kita menganggap bahwa sistem delegasi dan perwakilan tidak menjawab kebutuhan masyarakat adat. 2004 24 anggota parlemen, 2016 36 anggota parlemen.
Disesi ke II, diskusi berjalan sangat produktif, karena peserta merespon apa yang disampaikan oleh narasumber – utamanya soal ada momentum dimana konsolidasi kekuatan elit politik yang telah bersatu membuka ruang gerakan sosial menjadi oposisi yang berhadapan langsung dengan negara. Seperti yang disampaikan oleh Sastro dari KPRI (Konfederasi pergerakan Rakyat Indonesia), pekerjaan rumah kita berikutnya makin terang, yakni membangun oposisi rakyat sejati, namun selanjutnya kita harus menyiapkan partai (alat politik kita sendiri) untuk menggantikan partai oligarki.
Dari sisi substabsi diskusi ini selain memantik juga memperkaya pengetahuan dari berbagai sudut pandang. Lebih jauh dari itu, ada kesepahaman antara pemantik terkait situasi demokrasi yang terancama sehingga perlu melakukan konsolidasi gagasan dan gerakan. Selain itu, diskusi ini juga tidak untuk memutus harapan - tantangannya bagaimana kita mengarahkan kegeraman rakyat pada waktu dan tempat yang sama? Karena tidak akan mewujudkan hasil jika kegeraman rakyat itu terpecah belah tegas M. Isnur.
Tindak lanjut yang paling mungkin dilakukan dari diskusi ini adalah memperedalam gagasan terkait bagaimana membangun partai politik alternatif. Selain itu, kedepannya akan dilakukan workshop yang akan mengundang seluruh elemen gerakan rakyat yang bersepakat terkait gagasan “politik alternatif.”