Masyarakat Sangihe Menanti Cahaya Keadilan Terbit dari PTUN Jakarta
Oleh: Ernest Rakinaung
Pemerhati Kebijakan Pulau Kecil dan Perbatasan
Satu tahun sudah Masyarakat Sangihe memperjuangkan ruang hidup mereka dari upaya eksploitasi Perusahaan Tambang yang mengaku bernama PT. Tambang Mas Sangihe, berkolaborasi dengan oknum lembaga pemerintah Provinsi Sulawesi Utara dan Kementerian ESDM RI yang dinilai salah seorang masyarakat Sangihe, Didi Koleangan (14 April 2022) merupakan upaya penghilangan sebuah suku (genosida) masyarakat Sangihe yang sudah ratusan tahun berdiam dengan damai di wilayah perbatasan NKRI.
Inkorporasi pemerintah dan PT. TMS dilakukan melalui penerbitan ijin dalam bentuk peningkatan tahap operasi produksi kontrak karya PT TMS yang diterbitkan oleh Dirjen Minerba, Kementerian ESDM RI Nomor 163/MB.04/DJB/2021 tanggal 29 Januari 2022 yang diberlakukan selama 33 Tahun pada wilayah seluas 45.000 Ha di daratan Pulau Sangihe atau 57% dari daratan Sangihe yang memiliki luas 73.098 Ha. Secara berjenjang ini mengacu pada Izin Lingkungan bernomor 503/DPMPTSPD/IL/182/IX/2020 tanggal 25 September 2020 oleh Dinas Penanaman Modal dan Perizinan Terpadu Satu Pintu Provinsi Sulawesi Utara.
Sekretaris Daerah Kabupaten Kepulauan Sangihe selaku Ketua BKPRD yang pada saat itu dijabat Edwin Roring, SE, ME berdasarkan rapat BKPRD yang dihadiri 8 instansi teknis terkait di Kabupaten Kepulauan Sangihe membuat surat rekomendasi Nomor 050/28/63 Tanggal 10 Januari 2018 terkait surat permohonan PT. TMS yang menyatakan bahwa permohonan kesesuaian ruang PT. TMS tidak dapat dipenuhi karena tidak sesuai dengan UU Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil.
Landasan kebijakan ini menjadi dasar bagi Masyarakat Sangihe untuk melakukan perjuangan penolakan terhadap PT. TMS, sesuai catatan Alfred Pontolondo (14 April 2022), rangkaian perjuangan diawali dengan audiensi dengan DPRD Kabupaten Kepulauan Sangihe dengan harapan lembaga tersebut sesuai dengan sumpah jabatan akan memperjuangkan aspirasi masyarakat tetapi sangat disayangkan lembaga terhormat tersebut menurut Pontolondo sampai hari ini, Kamis, 14 April 2022 belum menunjukan pembelaan mereka terhadap perjuangan masyarakat Kepulauan Sangihe.
Sikap apatis legislatif dan eksekutif di Kabupaten Kepulauan Sangihe terhadap pengaduan masyarakat, mendorong perwakilan masyarakat Sangihe melalui SSI melakukan pengaduan kepada Presiden RI pada Tanggal 27 April–5 Mei 2021, sekaligus melakukan audiensi dengan Kementerian ESDM RI, Kementerian Kelautan dan Perikanan RI. Selain melalui Save Sangihe Island (SSI) yang menaungi 25 Lembaga Kemasyarakatan, nyanyian perjuangan juga disuarakan oleh PGI, Kontras, Jatam, WALHI, Komunitas Masyarakat Sangihe di didalam dan di luar negeri, Perguruan Tinggi dan LSM Peduli Lingkungan di Kanada/Amerika Serikat.
Langkah perjuangan tetap diayunkan walaupun rintangan dan tantangan datang silih berganti, dengan semboyan “Somahe Kai Kehage” dan semangat perlawanan Santiago kepada Penjajahan Belanda “I Kite mendiahi Wuntuang'u seke, Nusa Kumbahang Katumpaeng”, gerakan perjuangan digelorakan kepada setiap masyarakat Sangihe dengan melakukan penolakan fasilitas PT. TMS dibawa ke wilayah penambangan, perjuangan juga dilakukan melalui PTUN Jakarta Timur yang dengan perkara Izin Tambang Nomor 146/G/2021/PTUN-Jkt dan PTUN Manado yang mengadili Perkara Izin Lingkungan Nomor 57/G/LH/2021/PTUN-Mnd
Upaya perjuangan yang dilakukan masyarakat belum mendapatkan respon positif, simpati dan perhatian dari pemerintah, Pemerintah daerah baik provinsi dan kabupaten sepakat beragumen bahwa kebijakan penerbitan IUP merupakan kewenangan pemerintah pusat bahkan beberapa oknum pemerintah bertindak arogan dan menilai tindakan masyarakat Sangihe merupakan bentuk perlawanan kepada pemerintah, padahal ungkap mereka yang kami perjuangkan adalah kebijakan yang dibuat sendiri oleh pemerintah melalui UU Nomor 1 Tahun 2014.
Sebuah pertanyaan polos dari salah seorang warga Sangihe, Vanetsia Andemora, 14 April 2022: Mengapa kebijakan yang telah dibuat pemerintah dilanggar sendiri oleh pemerintah?
Dalam menjawab pertanyaan ini sebagaimana dikemukakan oleh Van Meter dan Van Horn (1975) bahwa tugas mengimplementasikan sebuah kebijakan adalah dilakukan oleh individu-individu atau kelompok dalam pemerintahan yang diarahkan untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan dalam keputusan-keputusan tersebut. Jika pada saat ini perjuangan implementasi UU Nomor 1 Tahun 2014 dibebankan kepada masyarakat, maka dapat disimpulkan bahwa pemerintah telah gagal melaksanakan tugas dan tanggunjawabnya, sesuai dengan pendapat Warwick (1979) ada beberapa faktor penyebab yaitu rendahnya komitmen pimpinan pemerintahan, rendahnya kemampuan organisasi, dan rendahnya komitmen para pelaksana.
Terkait dengan kepemimpinan dan pelaksana pemerintahan, Ndaraha (2013) menganalogikan seorang pemimpin pemerintahan merupakan Nahkoda kapal, ketangguhan seseorang dalam mengemudikan perahu dan kapal di tengah samudera raya menjadi gambaran tanggung jawab seorang pemimpin dan aparatur pemerintahan, bahwa jika petaka tak terduga tiba dan perahu/kapal tertimpa bencana, yang terlebih dahulu diselamatkan adalah kaum terlemah, bayi dan perempuan, orang sakit dan penumpang, ABK kemudian terakhir sang nahkoda, itupun ada kesempatan. Jika tidak, ia akan menjadi juru selamat, ia martyr, tumbal, korban, pahlawan, Syuhada, Kybernan, Governant.
Hal selaras juga dinyatakan oleh Levi Dan Braithwaite (1998) bahwa di atas dinding Sala della Pace, Hall of Peace, Siena's Balai Kota ada dua lukisan dinding abad keempat belas yang menggambarkan dampak pemerintahan yang baik dan yang jahat. Gambar pertama menggambarkan bentuk surga; yang lain menggambarkan neraka. Ini bukanlah bukanlah lukisan religi tetapi menggambarkan karakter pemerintahan yang ditentukan oleh kepemimpinan dan hukum.
Pendapat para pakar di atas memberikan gambaran yang jelas bahwa karakter pemerintahan yang sedang dillakukan pada saat ini adalah atas nama investasi. Mereka melawan kebijakan yang telah dibuat. Tugas mereka bukan membawa kesejahteraan dan kemakmuran sesuai amanat konstitusi tetapi dengan akal bulus berupaya menyiapkan kuk penderitaan kepada masyarakat Sangihe membawa mereka ke jalan sengsara seperti yang telah mereka lakukan kepada masyarakat Buyat, Sulawesi Utara dan masyarakat-masyarakat lain yang menjadi korban kepentingan investasi pertambangan.
Dalam pernyataan hakim PTUN Manado PT. TMS pada Kamis, 14 April 2022 bahwa dalam Amdal PT. TMS, perusahaan berkomitmen melakukan pengelolaan tambang emas yang aman bagi lingkungan dan masyarakat, tetapi hal tersebut dibantah dengan tegas oleh Prof. Frans Ijong, Direktur Politeknik Nusa Utara, bahwa dalam kajian akademis, dampak penambangan emas di Kampung Bowone pasti akan sangat membayahakan masyarakat Sangihe yang sebagian besar berprofesi sebagai nelayan dan beliau mengingatkan sebagaimana selalu disuarakan masyarakat Sangihe selama ini bahwa Sangihe memiliki lex spesialis sebagai pulau kecil yang dilindungi oleh Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014.
Implementasi perlindungan dan pengelolaan pulau kecil merupakan tugas pemerintah hal ini ditegaskan oleh pakar-pakar pemerintahan. Seperti Rasyid, Wasistiono maupun Labolo, Rasyid menyatakan bahwa sejarah pemerintahan lahir dari sebuah praktek kehidupan manusia zaman dahulu yang saling memangsa satu dengan yang lain (Homo Homini Lupus), maka untuk menjamin keamanan, ketentraman dan ketertiban lahirlah institusi pemerintahan. Konsep desentralisasi menempatkan institusi pemerintahan lebih dekat dengan masyarakat, karena Treisman (2007) masyarakat lokal tahu lebih banyak tentang selera dan sumber daya mereka sendiri daripada pemerintah pusat. Oleh karena itu, keputusan yang dibuat oleh pembuat kebijakan lokal akan lebih terinformasi daripada yang dibuat oleh Faceless Bureaucrats (birokrat tak berwajah) di ibu kota negara.
Dari pandangan ini, seharusnya pemerintah meninjau kembali kebijakan yang telah mereka buat, mengembalikan tugas pemerintahan kepada khitahnya untuk membela dan melindungi kepentingan masyarakat bukan kepentingan investor yang akan mengancam ketentraman dan kenyamanan masyarakat Sangihe. Menyesali perbuatan dan melakukan pengakuan dosa kepada masyarakat Sangihe terhadap kekeliruan yang telah dibuat pemerintah merupakan perbuatan terhormat dan bermartabat daripada terus menerus melawan masyarakat kecil, tidak berdaya dan telah terbukti kesetiaannya menjaga perbatasan NKRI.
Arogansi kekuasaan yang dipertontonkan selama ini, kiranya segera diakhiri, pembenaran terhadap kekeliruan yang terus dipertahankan oleh beberapa oknum aparatur pemerintahan di Kementerian ESDM dan Pemda Provinsi Sulut akan menjadi preseden buruk bagi wajah pemerintahan Indonesia yang telah memilih asas desentralisasi bukan sentralisasi. Pengertian Desentralisasi menurut UU Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah merupakan penyerahan Urusan Pemerintahan oleh Pemerintah Pusat kepada daerah otonom berdasarkan Asas Otonomi dan Sentralisasi merupakan pemusatan seluruh kewenangan kepada pemerintah pusat.
Praktek pemerintahan dalam proses penerbitan izin sebagaimana disampaikan oleh saksi Kementerian ESDM maupun Provinsi Sulut dalam beberapa sidang di PTUN dinilai oleh beberapa pakar yang menjadi saksi ahli masyarakat Sangihe baik dari Universitas Indonesia (Dr. Tri Haryati Dalmunthe, SH, MH), Universitas Padjajaran (Dr. Maret Priyanta, SH, MH), Universitas Diponegoro (Prof. Sidarto), dan Politeknik Sangihe (Prof. Frans Ijong) telah melanggar norma-norma hukum dan dan nilai-nilai pemerintahan.
Dekan Fakultas Pemerintahan IPDN (Dr. Halilul Khairi) pada Webinar yang diselenggarakkan oleh MIPI pada Tanggal 23 Oktober 2021 menyarankan Bupati Kepulauan Sangihe, sesuai dengan amanat UU Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah, untuk melaporkan oknum pemerintahan di Provinsi dan Kementerian ESDM RI ke pengadilan, namun saran dan nasehat tersebut tidak pernah dilakukan oleh Bupati Kepulauan Sangihe, beliau lebih memilih pendapat Dunn bahwa diam juga merupakan kebijakan serta memilih menjadi penonton dari pinggir lapangan menyaksikan pertarungan Goliat dan Daud, menyaksikan kolaborasi penguasa PT. TMS, Kementerian ESDM RI dan Pemda Sulut melawan masyarakat kecil dari wilayah kepulauan dan perbatasan NKRI. Hal ini juga sejalan dengan pendapat Treisman (2007) bahwa pada era desentralisasi apabila ada penyalahgunaan wewenang oleh Pemerintah Pusat, maka Pemerintah Daerah yang kuat dapat membela masyarakatnya dari penyalahgunaan wewenang oleh Pemerintah Pusat.
Bersamaan dengan penantian kemenangan Umat Islam dalam menjalani Ibadah Puasa pada bulan Suci Ramadhan 1443 H dan harapan kemenangan Umat Kristen pada Kebangkitan Kristus pada Hari Paskah, masyarakat Sangihe juga sedang menantikan kemenangan dan keadilan dari PTUN Jakarta Timur yang akan diputuskan pada tanggal 20 April 2022.
Hakim mulia PTUN Jakarta Timur memiliki independensi, pendapat dan pandangan lain dari perspektif kepentingan dan norma pengadilan yang perlu dihargai, ditaati dan dihormati tetapi dalam kajian pemerintahan, kebijakan publik dan pandangan beberapa pakar dari beberapa disiplin Ilmu Pengetahuan, memberikan keyakinan bahwa tindakan dan langkah-langkah kebijakan yang telah dilakukan; oleh lembaga pemerintahan baik Kementerian ESDM RI dan Provinsi Sulut dalam proses penerbitan IUP PT TMS telah menghianati semangat desentralisasi, mengabaikan pemerintah dan masyarakat setempat, serta mencederai demokrasi.
Keputusan hakim sebagaimana disampaikan oleh Muh. Jamil, SH, pengacara masyarakat Sangihe dari Jatam diharapkan tidak berpihak kepada masyarakat Sangihe, PT. TMS, maupun Kementerian ESDM RI tetapi berpihak kepada norma hukum yang baik dan benar. Harapan juga disampaikan Vanetsia Andemora, masyarakat Sangihe pada konfrensi pers, Rabu, 14 April 2022 dihadapan media massa dan LSM supaya PTUN Jakarta Timur tidak masuk angin dan berkhianat kepada masyarakat serta melakukan inkorporasi jahat bersama beberapa oknum pemerintah untuk menjual Pulau Sangihe kepada investor asing. Doa kita bersama semoga keadilan tidak muncul terbalik dan cahaya Keadilan akan segera terbit dari PTUN Jakarta Timur. (*)