Krisis Ekologis di Pesisir Jawa dan Ekspansi Tambak Udang di Jawa Timur

Krisis Ekologis di Pesisir Jawa dan Ekspansi Tambak Udang di Jawa Timur

Parid Ridwanuddin
Manajer Kampanye Pesisir dan Laut Eksekutif Nasional WALHI

Sejak dulu, pulau Jawa memiliki popularitas yang tak pernah redup, baik di Nusantara maupun di mata antar bangsa. Popularitas ini, sebagaimana dijelaskan buku “Java Collapse”, tak terlepas dari keunggulan pulau Jawa dari sisi geografis, geologis, ekologi, maupun manusianya. Secara geografis, posisinya menguntungkan karena berada di tengah tengah jalur perdagangan rempah, antara wilayah timur dan barat. Secara geologi (dan ekologi) memiliki kesuburan tinggi yang memungkinkan industri pertanian dan perkebunan berkembang pesat, serta jumlah manusia yang memadai untuk menjadi tenaga kerja dengan moda apapun.

Karena memiliki beragam keunggulan tersebut, banyak aktor yang berkepentingan untuk menguasai pulau ini dari dulu hingga sekarang, mulai dari daratan hingga pesisir maupun lautannya. Kepentingan berbagai aktor itulah yang menyebabkan krisis sosial-ekologis terus terjadi di Pulau Jawa.

Dalam laporan yang bertajuk Angka Deforestasi Sebagai Alarm Memburuknya Hutan Indonesia, Forest Watch Indonesia (FWI), mencatat total luasan hutan alam di Pulau Jawa pada tahun 2018, hanya 905.885 hektar atau sekitar 6 persen dari total luasan daratannya. Sepanjang tahun 2013-2017, deforestasi di pulau ini tercatat sebanyak 130.041 hektar, dengan rata-rata kehilangan hutan seluas 34.163 hektar. Data-data tersebut menggambarkan, daratan pulau Jawa telah mengalami eksploitasi tiada henti sejak lama dan menjadi ruang pertarungan beragam kekuasaan politik dan ekonomi hingga kini.

Jika daratnya telah dikuasai dan dieksploitasi sejak lama, lalu bagaimana dengan wilayah pesisir dan lautnya? Berdasarkan dokumen Peraturan Daerah Rencana Zonasi Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil (Perda RZWP3K) di berbagai provinsi di Pulau Jawa, wilayah pesisir telah diperuntukkan untuk aneka ragam proyek ekstraktif dan ekspolitatif yang melanggengkan krisis sosial-ekologis. Sebagai contoh, di Jawa Barat terdapat proyek reklamasi lebih dari 24 ribu hektar; Jawa Tengah lebih dari 69 ribu hektar; DI Yogyakarta lebih dari 900 hektar; dan Jawa Timur lebih dari 212 ribu hektar.

Selain proyek reklamasi, wilayah pesisir dan laut pulau Jawa juga dipenuhi oleh proyek tambang. Merujuk dokumen Perda RZWP3K, di Jawa Barat terdapat proyek tambang pasir, minyak, dan gas lebih dari 89 ribu hektar; di Banten lebih dari 5.984 hektar untuk proyek tambang pasir. Di Jawa Timur, direncanakan akan ada penambangan pasir laut sebanyak 37 juta M3 untuk pembangunan reklamasi di Bojonegoro, dan 12 juta M3 untuk pembangunan reklamasi Pertamina Tuban.

Proyek pembangunan PLTU batu bara juga turut melanggengkan krisis ekologis di kawasan pesisir pulau Jawa. Sampai dengan tahun 2021, setidaknya ada 10 PLTU yang tengah dan telah dibangun. Di dalam banyak penelitian yang telah dilakukan oleh berbagai ahli, PLTU telah terbukti mencemari lautan dan memberikan dampak buruk bagi kehidupan masyarakat pesisir.

Ekspansi Tambak Udang di Jawa Timur
Ekspansi tambak udang di Indonesia telah berlangsung sejak era Orde Baru. Salah satu lokasi tambak udang terbesar saat itu adalah Dipasena yang terletak di Kabupaten Tulang Bawang, Provinsi Lampung. Hingga kini, ekspansi tambak udang di Indonesia terus meluas.

Pemerintah Indonesia menargetkan produksi perikanan budidaya pada tahun 2024 sebanyak 22.65 juta ton. Kondisi eksisting hari ini tercatat sebanyak 18,44 juta ton. Khusus untuk komoditas udang sebagai komoditas ekspor, pemerintah menaikan target produksinya sebanyak 1.520.836 ton pada tahun 2024 dari produksi tahun 2020 yang tercatat sebanyak 1.208.433 ton. Dengan demikian, pemerintah akan mendorong ekstensifikasi atau pembukaan lahan baru.

Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP, 2019) mencatat, pemanfaatan lahan untuk budidaya udang sampai dengan tahun 2017 baru mencapai 20% dari keseluruhan potensi yang dimiliki. Dengan demikian, masih sangat terbuka untuk pengembangan lahan untuk budidaya udang dengan ekstensifikasi dengan memperhatikan RTRW di setiap daerah.

Pulau Jawa (KKP, 2019), merupakan kontributor terbesar produksi udang selama ini, yaitu sebesar 28,52% dari total produksi nasional atau sebesar 252.813,89 ton, lalu disusul oleh Pulau Sumatera sebesar 18,61% dari total produksi nasional atau sebesar 165.020,35 ton.

Secara umum, luasan wilayah perikanan budidaya, khususnya tambak udang, tercatat di dalam Statistik Sumber Daya Pesisir dan Laut 2020, seluas 51.778 hektar. Sementara itu, di dalam Perda Zonasi No. 1 Tahun 2018 tentang Rencana Zonasi Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil Provinsi Jawa Timur Tahun 2018-2038, telah dialokasikan ruang pesisir untuk perikanan budidaya seluas 2.913,45 hektar. Kawasan ini tersebar di sejumlah kabupaten, yaitu: Banyuwangi, Sumenep, Jember, Trenggalek, Lumajang, Pacitan, Situbondo, Probolinggo, Pamekasan, Sampang, Bangkalan, Tuban, Lamongan, Gresik, dan Tulungagung.

Keberadaan tambak udang di provinsi Jawa Timur tak terlepas dari banyak perusahaan yang bergerak di bidang budidaya ikan. Statistik Perikanan Jawa Timur 2019 menyebut, setidaknya terdapat 90 perusahaan yang bergerak di bidang budidaya ikan air payau, termasuk tambak udang vaname.

Sebagian dari perusahaan itu, ada yang mengekspor udang ke sejumlah negara di antaranya: Amerika Serikat, Jepang, China, Malaysia, Vietnam, Inggris, Kanada, Belanda, Francis, Jerman, Australia, dan Korea Selatan.

Ekspansi tambak udang di Jawa Timur mendorong krisis ekologi di pesisir, terutama memburuknya hutan mangrove. Statistik Sumber Daya Pesisir dan Laut 2020 menyebut Jawa Timur memiliki 9.345,37 hektar. Dari total itu, hanya 22,38 persen yang berada dalam kondisi baik.

Selain krisis ekologis, krisis sosial ekonomi juga tak dapat dihindarkan. Penguasaan tanah yang dilakukan oleh perusahaan tambak udang terhadap tanah masyarakat telah, sedang, dan akan memicu konflik yang tak berkesudahan pada masa-masa yang akan datang.

Ekspansi tambak udang di Jawa Timur sangat mendesak untuk dievaluasi dan dihentikan oleh berbagai pihak, khususnya Pemerintah Pusat dan Provinsi. Jika tidak, krisis sosial-ekologis akan menjadi bom waktu yang dapat meledak kapan saja.

Tulisan pernah dimuat di Majalah Al-Fikr edisi XXXV, yang diterbitkan oleh Lembaga Pers Mahasiswa (LPM) Universitas Nurul Jadid, Paiton, Jawa Timur