Pada hari Rabu 21 Maret 2018, sekitar delapan warga terdampak tambang emas di area Gunung Tumpang Pitu berangkat dari Desa Sumberagung, Pesanggaran, Banyuwangi, menuju ke Universitas Jember. Mereka harus menempuh jarak 100 Km dengan waktu tempuh kurang lebih 2 jam 40 menit, sebelum sampai ke tempat tujuan, dengan agenda menyampaikan keluh kesah serta permasalahan yang tengah mereka hadapai kepada komisioner Komnas HAM. Kebetulan Komnas HAM sedang ada gawai di Universitas Jember, dan mereka sebelumnya sudah dihubungi oleh pihak pendamping hukum. Agar menyisihkan sedikit waktu bertemu warga tolak tambang, yang ingin mengadu mengenai hak-hak mereka yang telah terampas. Sekitar jam 12.30 setelah istirahat makan siang dan sholat Dzuhur, pertemuan digelar di aula gedung rektorat Universitas Jember. Pertemuan dengan agenda menyampaikan keluh kesah warga yang sedang menghadapi perampasan hak, seperti ekspansi tambang, sengketa lahan, kriminalisasi hingga persoalan perusakan wilayah konservasi. Pertemuan kemudian dibuka oleh ketua Komnas HAM Taufan Damanik, memberikan salam serta mengenalkan diri dan menyampaikan pokok agenda yang akan dilakukan. Taufan Damanik kemudian mempersilahkan warga untuk menyampaikan keluh kesahnya. Warga Tumpang Pitu mendapatkan kesempatan pertama, mereka bersama perwakilan organisasi jejaring seperti Walhi Jatim dan LBH Surabaya, menyampaikan pengantar mengenai polemik pertambangan emas di Tumpang Pitu. Kemudian Walhi Jatim selaku jejaring warga menjabarkan persoalan tambang emas di Tumpang Pitu, sekaligus kronologi singkat bagaimana kriminalisasi dan intimidasi mengancam mereka yang ingin mempertahankan ruang hidupnya. Berikut catatan singkat dari penyampaian Walhi Jatim:
- Pada tahun 2012, PT. IMN mengalihkan Ijin Usaha Pertambangannya kepada PT. Bumi Suksesindo (BSI), anak perusahaan PT. Merdeka Copper Gold, Tbk. Merdeka Copper Gold, Tbk, memiliki anak perusahaan, yaitu PT. Bumi Suksesindo (BSI), PT. Damai Suksesindo (DSI), dan PT Cinta Bumi Suksesindo (CBS). BSI dan DSI memiliki Izin Usaha Pertambangan (“IUP”) sedangkan CBS belum memiliki IUP. BSI memiliki Izin Usaha Pertambangan Operasi Produksi (“IUP OP”) berdasarkan Keputusan Bupati Banyuwangi No. 188/547/KEP/429.011/2012 tanggal 9 Juli 2012 sebagaimana terakhir kali diubah dengan Keputusan Bupati Banyuwangi, No. 188/928/KEP/429.011/2012 tertanggal 7 Desember 2012 sedangkan DSI memiliki Izin Usaha Pertambangan Eksplorasi (“IUP Eksplorasi”) berdasarkan Keputusan Bupati Banyuwangi No. 188/930/KEP/429.011/2012 tanggal 10 Desember 2012 sebagaimana terakhir kali diubah dengan Keputusan Bupati Banyuwangi No. 188/109/KEP/429.011/2014 tanggal 20 Januari 2014. Perlu diketahui jika total IUP sebesar 11 ribu Ha untuk total wilayah konsesi pertambangan emas.
- Lokasi IUP BSI dan DSI terletak di Desa Sumberagung, Kecamatan Pesanggaran, Propinsi Jawa Timur, dengan IUP OP BSI seluas 4.998 ha dan dengan IUP Eksplorasi DSI seluas 6.623 ha. IUP OP milik BSI akan berlaku sampai dengan 25 Januari 2030 dan IUP Eksplorasi milik DSI berlaku sampai dengan 25 Januari 2016. Sebelum bernama PT Merdeka Copper Gold, Tbk, perusahaan ini bernama PT Merdeka Serasi Jaya. Akta Pendirian No.2, 5 September 2012, dengan pengesahan dari Menkumham, Nomor, berdasarkan Surat Keputusan No. AHU-48205.AH.01.01.Tahun 2012 tanggal 11 September 2012 dan terdaftar di dalam daftar Perseroan Menkumham dibawah No. AHU-0081346.AH.01.09. Tahun 2012 tanggal 11 September 2012, serta telah diumumkan dalam Berita Negara Republik Indonesia No. 47 tanggal 11 Juni 2013 (Prospektus Final PT Merdeka Copper Gold, Tbk).
- Sejak ditetapkannya kawasan pertambangan Tumpang Pitu menjadi Objek Vital Nasional pada 2016 melalui SK Menteri Nomor: 631 K/30/MEM/2016, kini Tumpang Pitu menjadi kawasan eksklusif yang seolah tak dapat tersentuh oleh siapapun, khususnya warga sekitar dan masyarakat sipil lainnya. Menurut catatan investigasi yang berhasil dihimpun oleh Walhi Jatim bahwa kasus kriminalisasi yang menimpa warga Tumpang Pitu, terkait dengan sikap penolakannya terhadap kehadiran pertambangan, telah memakan korban sebanyak 15 orang dalam 5 kasus yang berbeda di sepanjang kurun waktu 2015-2017.
Akibat dari adanya tambang emas di wilayah Tumpang Pitu, munculah penolakan dari warga sekitar area tambang, yang tidak sepakat dengan adanya pertambangan. Perlawanan mereka cukup intensif dan masif, sehingga memunculkan berbagai aneka tekanan, baik bersifat intimidatif hingga represif. Salah satunya ialah kriminalisasi, berikut catatan singkat yang berhasil kami himpun, mengenai intimidasi dan represi kepada warga: Pertama: Pertengahan November 2015, 1 orang warga dituduh merusak drone milik perusahaan. Akibat tuduhan ini warga tersebut menjadi tersangka. Kedua: Akhir November 2015, 8 orang warga dituduh merusak fasilitas perusahaan. Saat ini kasus tersebut berstatus 4 orang divonis bebas murni, dan 4 warga lainnya, kasusnya masih berjalan di tingkat kasasi (Mahkamah Agung). Ketiga: Awal April 2017, 22 orang warga dituduh membawa spanduk aksi yang diduga mirip logo palu arit. Saat ini atas tuduhan tersebut, 4 orang warga Sumberagung ditetapkan menjadi tersangka, dan salah satu diantaranya (Heri Budiawan) ditahan dan sedang menjalani persidangan. Menurut keterangan warga, kasus ini bermula dari aksi pemasangan spanduk “tolak tambang” yang dilakukan pada tanggal 4 April 2017. Aksi pemasangan spanduk penolakan ini dilakukan di sepanjang pantai Pulau Merah (dusun Pancer)-Sumberagung hingga kantor Kecamatan Pesanggaran. Satu hari pasca aksi (5/4) tersebut, muncul beberapa pernyataan dari pihak aparat keamanan Banyuwangi (TNI/Polri), bahwa di dalam spanduk penolakan warga terdapat logo yang mirip palu arit. Atas kasus ini, warga memberikan pernyataan bahwa tidak satupun spanduk yang mereka pasang terdapat logo yang dituduhkan pihak aparat keamanan. Warga menduga tuduhan tersebut hanya bertujuan untuk melemahkan gerakan penolakan yang sedang mereka lakukan. Sekaligus juga untuk memecah belah persatuan perjuangan warga. Atas peristiwa ini, 4 orang warga yang ditetapkan sebagai tersangka dikenakan pasal 170a UURI No. 27 Tahun 1999 Tentang Perubahan kitab Undang-undang Hukum Pidana yang berkaitan dengan kejahatan terhadap keamanan negara. Keempat: Akhir April 2017, 1 orang warga dituduh melakukan penghadangan terhadap pekerja PT. DSI. Atas tuduhan tersebut, 1 orang warga kini ditetapkan sebagai tersangka. Kelima: Mei 2017, 1 orang kuasa hukum (pengacara) warga dituduh melakukan pencemaran nama baik perusahaan. Kasus ini bermula saat pengacara warga tersebut mengatakan kepada media bahwa aktivitas kegiatan pertambangan di Tumpang Pitu diduga telah mencemari lingkungan. Atas kasus ini, pengacara warga tersebut kini ditetapkan menjadi tersangka.
Cerita Dari Warga Terdampak
Pemaparan oleh Walhi Jatim kemudian dilengkapi dengan cerita warga kepada Komisioner Komnas HAM dalam pertemuan tersebut. Ratna salah satu warga yang mengalami kriminalisasi mengatakan, dia menolak tambang emas, karena jarak pertambangan relatif dekat dengan pemukiman yang ia tinggali, kurang lebih sekitar 5 Km dan dia tidak mau lingkungannya rusak. Di saat menolak dia di kriminalisasi. Berawal dari aksi di tahun 2017, dia ditetapkan sebagai tersangka karena memegang spanduk yang diduga mirip logo palu arit. Ratna kemudian menuturkan pasca aksi tersebut oleh polres, dia bersama kawan-kawannya sekitar 22 orang diperiksa, lalu mengerucut pada empat orang. Awalnya hanya dijadikan saksi, lalu pasca persidangan Budi Pego dia dan kedua kawannya ditetapkan menjadi tersangka. Dia tidak tahu mengenai alasan penangkapan, dari pemasangan spanduk sepanjang jalan dari pulau Merah tidak ada spanduk palu arit. Dia menuturkan setelah istirahat sejenak dan aksi berlanjut. Selang dua hari aksi, dia baru tahu ternyata spanduk yang dia bawa bersama dua kawan lainnya terdapat logo mirip palu arit, yang dijadikan dalih kriminalisasi atas dirinya dan kawan-kawannya. Tidak hanya Ratna, salah seorang perempuan pejuang lainnya bernama Fitri juga mengalami hal serupa. Jauh sebelum Ratna, dia diadili dituduh provokator kerusuhan pada 2015 silam. Hingga kini kasusnya masing digantungkan, setelah divonis bebas oleh Pengadilan Negeri Banyuwangi, Jaksa Penuntut Umum mengajukan kasasi ke Mahkamah Agung. Sampai sekarang nasibnya tidak jelas, belum ada keputusan lanjutan perihal kasasi. Fitri juga menceritakan bahwa dia dari dusun pancer, seorang istri nelayan dan lahir dari keluarga nelayan. Tahun 1994 terkena wilayahnya terkena tsunami. Secara tidak langsung gunung Tumpang Pitu turut melindungi wilayahnya dari dahsyatnya Tsunami, jikalau tidak ada Tumpang Pitu mungkin dia tidak bisa melihat keluarganya lagi. Sebagai seseorang yang berasal dari keluarga nelayan, Fitri merasa resah karena pertambangan akan mengurangi dan mengancam lingkungan serta ekonomi warga. Dia juga mengungkapkan warga tolak tambang diintimidasi hingga sekarang. “Tolak tambang adalah hak, Tumpang Pitu merupakan tempat mencari hidup dan tempat menggantungkan hidup.” Kata Fitri dengan berlinang air mata kepada Komnas HAM. Setelah Fitri cerita dilanjutkan oleh Dayat yang merupakan warga tolak tambang. Dia mengatakan menolak tambang karena khawatir, akan ancaman tambang yang begitu mengerikan. Di Pancer Dayat mempunyai banyak teman yang terancam, baik secara ekonomi dan sosial, karena hidup di kawasan pertambangan. Dayat juga mengatakan bahwa konsesi pertambangan meliputi perkampungan warga seperti Dusun Pancer, hal ini tertera di Perda RTRW Banyuwangi tahun 2012 dan berlaku sampai 2032. “Pemerintah menetapkan wilayah tambang di daerah pemukiman, itu tidak manusiawi.” Ungkap Dayat. Sama dengan Fitri, Dayat mengungkapkan banyak dari mereka yang tolak tambang ketakutan dan tidak berani bersuara, karena adanya intimidasi. Sepertii dari aparat keamanan yang terlampau represif dan intimidatif. Lalu ada ormas dan lembaga agama yang turut mengintimidasi, salah satu contohnya ketika ada doa bersama dan istighotsah tolak tambang, mereka menekan dan meminta tidak dilanjutkan. “Tumpang Pitu tempat menggantungkan hidup ratusan petani dan nelayan. Tambang juga menciptakan permusuhan diantara tetangga, memuncullkan konflik sosial.” Terang Dayat kepada Komnas HAM.
Harapan Kepada Komnas HAM
Munculnya berbagai polemik yang diakibatkan oleh pertambangan, tidak lepas dari abainya Negara dalam melindungi hak-hak warganya. Perampasan ruang hidup yang kian masif, menciptakan instabilitas dalam kehidupan masyarakat. Baik dari segi sosial, ekonomi, budaya dan hak-hak untuk hidup lebih layak. Pertambangan emas di Tumpang Pitu nyatanya tak memberikan keuntungan apapun, malahan menjadi preseden buruk dalam upaya penegakan hak asasi manusia. Berdasarkan UUD 1945 pasal 28 G tercatat bahwa: 1. Setiap orang berhak atas perlindungan diri pribadi, keluarga, kehormatan, martabat, dan harta benda yang dibawah kekuasaannya, serta berhak atas rasa aman dan perlindungan dari ancaman ketakutan untuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu yang merupakan hak asasi; 2. Setiap orang berhak untuk bebas dari penyiksaan dan perlakuan yang merendahkan derajat martabat manusia dan berhak memperoleh suaka politik dari negara lain. Lalu pada pasal 28 H menyebutkan: 1. Setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal, dan medapatkan lingkungan hidup baik dan sehat serta berhak memperoleh pelayanan kesehatan; 2. Setiap orang mendapat kemudahan dan perlakuan khusus untuk memperoleh kesempatan dan manfaat yang sama guna mencapai persamaan dan keadilan; 3. Setiap orang berhak atas jaminan sosial yang memungkinkan pengembangan dirinya secara utuh sebagai manusia yang bermartabat; 4. Setiap orang berhak mempunyai hak milik pribadi dan hak milik tersebut tidak boleh diambil alih secara sewenang-wenang oleh siapa pun. Perampasan ruang hidup di Banyuwangi khususnya Tumpang Pitu, yang mulai terlihat dampak negatif secara tidak langsung bertentangan dengan hak asasi manusia, jika merujuk pada pasal 28 UUD 1945. Oleh karena itu kami meminta Komnas HAM sebagai lembaga negara yang bertugas menegakkan HAM di Indonesia:
- Harus bertindak dan menegakkan HAM seadil-adilnya kepada warga Tumpang Pitu yang terancam oleh pertambangan emas.
- Segera memberikan rekomendasi dan membentuk tim investigasi untuk melihat fakta di lapangan.
- Mendesak pemerintah agar segera menghentikan pertambangan di Tumpang Pitu, yang secara faktual telah mencerabut hak-hak masyarakat yang tinggal di area Tumpang Pitu sebagai warga negara.
Kontak Media: Rere Christanto – 083857642883 (Direktur Eksekutif Daerah) Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) Jawa Timur Jl. Karah no 7H, Surabaya | (031) 8299942 | [email protected] | walhijatim.or.id