Siaran Pers Wahana Lingkungan Hidup Indonesia Menyikapi Peristiwa Penembakan terhadap Petani Desa Tangar Kalimantan Tengah Jakarta, 24 Desember 2017-Pada hari senin tanggal 18 Desember 2017 lalu, dua orang petani Desa Tangar Kecamatan Mentaya Hulu Kabupaten Kotawaringin Timur, Provinsi Kalimantan Tengah, bernama Agus dan Abu Saman, mengalami tindak kekerasan dan penembakan yang dilakukan oleh aparat keamanan di lokasi konsesi perkebunan kelapa sawit PT. Bumi Sawit Kencana (BSK), anak perusahaan Wilmar Group. Tindak kekerasan yang dilakukan oleh aparat keamanan terhadap warga bukan pertama kali ini, tindak kekerasan juga pernah dilakukan dengan aparat keamanan dan pengamanan PT. BSK. Berulangnya peristiwa bentrokan yang terjadi sebagai buntut dari perampasan tanah dan konflik agraria. Bukannya menyelesaikan konflik agraria yang terjadi, aparat keamanan justru menggunakan pendekatan kekerasan dan keamanan untuk menyelesaikan konflik. WALHI mengutuk kekerasan yang dilakukan oleh PT. Bumi Sawit Kencana dan aparat keamanan terhadap petani Desa Tangar Kalimantan Tengah dan mendesak Kapolri untuk mengusut dan memberikan sanksi hukum yang tegas terhadap aparatnya yang melakukan penembakan tersebut. “Massifnya tindak kekerasan, kriminalisasi dan konflik tenurial yang terus terjadi, yang dilakukan oleh aparat keamanan dalam upaya melindungi investasi di Kalimantan Tengah menjelaskan bahwa investasi yang dijalankan di Kalimantan Tengah, khususnya perkebunan sawit keliru dalam proses pemberian izin. Sudah saatnya pemerintah melakukan evaluasi semua perizinan di Kalteng, menyelesaikan sengketa tenurial antara masyarakat dengan perusahaan dan menindak tegas perusahaan-perusahaan yang melakukan praktek buruk dan berbagai pelanggaran hukum dan perundang-undangan hingga pencabutan izinnya”, tegas Dimas Hartono, Direktur WALHI Kalimantan Tengah. Kepala Departemen Kampanye dan Perluasan Jaringan Eksekutif Nasional WALHI, Khalisah Khalid menyatakan “bahwa pendekatan keamanan dan penggunaan kekerasan yang dilakukan oleh aparat keamanan di hampir semua konflik agraria yang terjadi, hampir sebagian besar berelasi dengan perusahaan skala besar, seperti Wilmar group. Pendekatan keamanan dan penggunaan kekerasan yang berujung pelanggaran HAM terhadap warga negara sesungguhnya bertentangan dengan komitmen Presiden Joko Widodo yang menghendaki penyelesaian konflik agraria dan janji reforma agraria. Reforma agraria tidak akan tercapai, jika negara tidak menghentikan praktek kekerasan dan kriminalisasi terhadap petani, masyarakat adat dan masyarakat lokal”. WALHI menilai bahwa selama ini akar masalah krisis lingkungan hidup dan konflik agraria yang terjadi di Indonesia, karena ketimpangan penguasaan dan pengelolaan atas sumber daya alam yang sebagian besar dikuasai oleh korporasi skala besar dengan legitimasi kebijakan negara melalui perizinan.
Wilmar adalah salah satu group bisnis yang menguasai begitu besar tanah dan sumber daya alam di Indonesia. Di Kalimantan Tengah sendiri, setidaknya Wilmar group menguasai 141.000 hektar yang eksisting. Saat ini, Wilmar group setidaknya menguasai lahan seluas 484.716 hektar yang tersebar di berbagai wilayah di Indonesia. Konsesi yang didapatkan oleh Wilmar dan pelanggengan bisnisnya dijalankan dengan cara-cara yang militeristik, termasuk yang terjadi di Kalimantan Tengah dan di banyak wilayah lainnya di Indonesia. Selain fakta-fakta konflik dan kekerasan, Wilmar group merupakan salah satu penyumbang kebakaran hutan dan lahan pada tahun 2015 di area konsesinya. Selain dugaan kejahatan lingkungan, Wilmar Group juga melakukan kejahatan kemanusiaan. Ironinya, Rountable on Sustainable Palm Oil (RSPO) yang menjadi wadah berkumpulnya perusahaan-perusahaan perkebunan sawit, hanya menjadi stempel atas klaim prinsip berkelanjutan perusahaan-perusahaan perkebunan sawit, jauh dari menjangkau akar masalah agraria dan lingkungan hidup yang terjadi di tingkat tapak. RSPO menutup mata atas berbagai fakta pelanggaran hak asasi manusia, konflik agraria dan penghancuran yang dilakukan oleh anggotanya, termasuk Wilmar group.
RSPO telah gagal menjadikan anggotanya memenuhi prinsip dan kriteria yang seharusnya dipenuhi oleh anggota-anggota yang bernaung di RSPO. Dari berbagai kasus atau konflik yang telah dilaporkan oleh komunitas, tidak mampu diselesaikan oleh RSPO. Jangankan penyelesaian konflik yang dapat memenuhi rasa keadilan bagi masyarakat korban, konflik tenurial dan penghancuran lingkungan hidup justru terus terjadi di konsesi-konsesi perusahaan yang bernaung di RSPO, termasuk Wilmar. Komitmen berkelanjutan, tidak lebih hanya “jualan” untuk terus mengkapitalisasi bisnis industri perkebunan besar kelapa sawit. Atas dasar itu, selain Wilmar group yang harus bertanggungjawab terhadap peristiwa kekerasan yang dilakukan terhadap petani di Kalimantan Tengah dan wilayah lainnya yang berkonflik, RSPO juga harus bertanggungjawab atas perusahaan-perusahaan yang berkonflik, melakukan tindak kekerasan, pelanggaran HAM dan pengrusakan lingkungan hidup, khususnya yang sudah dilaporkan oleh masyarakat ke RSPO. “Dari pengalaman panjang melakukan advokasi lingkungan, WALHI berpandangan bahwa hampir semua instrumen yang bersifat voluntary, termasuk dalam bisnis dan HAM, tidak memiliki kekuatan berhadapan dengan kejahatan korporasi, karena itulah dibutuhkan legally binding instrument yang diharapkan dapat menyeret korporasi, khususnya TNC’s dan seluruh rantai pasoknya atas pelanggaran pelanggaran HAM termasuk kejahatan lingkungan yang dilakukan”, ujar Khalisah dalam penutup siaran pers ini. Untuk informasi lebih lengkap dapat menghubungi: 1. Dimas Hartono, Direktur WALHI Kalimantan Tengah di 081352704704 Email: [email protected] 2. Khalisah Khalid, Kepala Departemen Kampanye dan Perluasan Jaringan Eksekutif Nasional WALHI, di 081290400147 Email: [email protected]