Jakarta 27 Juli 2018--Koalisi Masyarakat Sipil “Gerak Bersihkan Udara” menyesalkan pernyataan yang kerap dilontarkan Pemerintah melalui Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) terkait kondisi kualitas udara yang masih baik dan masih di bawah ambang batas.
“Kenyataannya, ambang batas yang ditetapkan KLHK sengaja jauh lebih lemah dibandingkan standar internasional. Kenyataannya, kondisi kualitas udara kita sebenarnya sangat buruk apabila diukur dengan standar WHO yang berbasis bukti ilmiah,” ujar Dwi Sawung dari WALHI.
Kementerian LHK dalam data pemantauannya selalu mengacu pada aturan baku mutu yang sudah seharusnya direvisi. Baku Mutu Udara Ambien yang tercantum pada PP No. 41 Tahun 1999, peraturan ini sudah 20 tahun dan selama 20 tahun pengetahuan medis tentang pencemaran udara bertambah angka yang dulu dianggap aman sudah tidak memenuhi lagi dan parameter baru yang berbahaya pada kesehatan manusia, telah jauh dibawah baku mutu yang ditetapkan oleh Badan Kesehatan Dunia (WHO).
Ambang batas yang ditetapkan oleh WHO sudah jelas mempertimbangkan dampak kesehatan yang akan diderita oleh masyarakat akan paparan polutan berbahaya setiap harinya.
Ambang batas yang digunakan oleh Kementerian LHK untuk partikulat debu halus PM2.5 dalam durasi waktu 24 jam adalah 65 mikrogram/m3, di mana ambang batas aman yang digunakan oleh WHO adalah 25 mikrogram/m3. Dengan kata lain, ambang batas yang selalu diacu oleh Kementerian LHK hampir tiga kali lipat lebih lemah daripada WHO.
Begitu pula halnya dengan ambang batas polutan lainnya, seperti PM10 yang lebih lemah tiga kali lipat dalam durasi pengukuran 24 jam, polutan NO2 yang lebih lemah dua kali lipat dibandingkan standar aman WHO dalam durasi pengukuran 1 jam, dan polutan SO2 yang lebih lemah 15 kali lipat dalam durasi pengukuran 24 jam. Hal ini tentunya sangat mengkhawatirkan bagi masyarakat yang terpapar oleh polutan-polutan ini setiap harinya.
Kondisi di atas membuat Kementerian LHK akan selalu mempunyai pembenaran untuk mengatakan kepada masyarakat bahwa kualitas udara masih dalam kondisi baik atau sehat atau tidak berbahaya, padahal ambang batas yang ditetapkan tidak dalam kondisi aman bagi kesehatan masyarakat sebagaimana telah dibuktikan oleh studi dan bukti empiris dari seluruh dunia yang menjadi landasan standar global WHO.
“Batas yang yang ditetapkan saat sebagai batas aman justru membahayakan kesehatan, khususnya membahayakan kelompok sensitif seperti ibu hamil, balita, dan anak-anak, serta kelompok lanjut usia,” ujar Hindun Mulaika dari Greenpeace Indonesia.
“Fokusnya bukan ke indeks, tapi konsentrasi. Sekarang ini momentum bagi KLHK memperketat baku mutu udara ambien yang ada dengan tujuan utama melindungi kesehatan masyarakat Indonesia. Kami dukung KLHK selesaikan revisi PP No. 41 Tahun 1999 tentang Pengendalian Pencemaran Udara,” ujar Margaretha Quina dari ICEL.
Terlebih lagi, ISPU yang digunakan oleh KLHK belum memperhitungkan PM 2.5 yang menjadi salah satu polutan paling mengancam bagi kesehatan masyarakat, meningkatkan resiko berbagai penyakit, diantaranya jantung iskemik, stroke, PPOK, infeksi saluran pernapasan bawah, ISPA, kanker paru, dan asma.
Publik sudah melihat kabut asap yang menyelimuti Jakarta sehari-hari. Tidak aneh juga kita melihat publik Jakarta memakai masker ketika beraktivitas di luar ruang.
“Permasalahan polusi tidak dapat diselesaikan tanpa kemauan politik yang jelas dan keberanian Kementerian LHK untuk menetapkan peraturan yang ketat terhadap seluruh sumber polusi, baik itu transportasi, industri maupun pembangkit listrik batubara yang mengelilingi ibukota,” ujar Ahmad Safrudin dari KPBB.
Kontak :
-
Dwi Sawung, Manager Kampanye Perkotaan dan Energi WALHI, +628156104606
-
Hindun Mulaika, Juru Kampanye Greenpeace Indonesia, +628118407113
-
Margaretha Quina, Direktur Divisi Pencemaran ICEL, +6181287991747
-
Ahmad Safrudin, Direktur Eksekutif KPBB, +62816897959
-
Adhityani Putri, Direktur Nasional CERA, +61281315159663
-
Lucky Lontoh, Koordinator Nasional IISD, +62818825323
-
Alfred Sitorus, Koalisi Pejalan Kaki, +6285280230536