Pers Release
Jakarta, 27 Agustus 2020. Penyelenggaran sarasehan III kebijakan satu peta menuju indonesia maju seri pertama ini mengangkat tema “pengakuan wilayah adat dalam kebijakan satu peta” yang juga merupakan rangkaian kegiatan dari rapat kerja nasional VI Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (RAKERNAS AMAN VI). Kegiatan ini diselenggarakan oleh jaringan masyarakat sipil yang terdiri dari Aliansi Masyarakat Adat Nusantara, Perkumpulan HuMa Indonesia, Jaringan Kerja Pemetaan Partisipatif (JKPP), Greenpeace Indonesia, Wahana lingkungan hidup Indonesia (WALHI) dan Badan Registrasi Wilayah Adat (BRWA). Tujuan sarasehan ini adalah untuk mendapatkan informasi terkini perkembangan pelaksanaan kebijakan satu peta, tantangan dalam kompilasi, sinkronisasi serta intergrasi peta tematik wilayah adat dan peta desa.
Kebijakan Satu Peta dirintas sejak periode pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono melalui Peraturan Presiden No 27 Tahun 2014 tentang Jaringan Informasi Geospasial Nasional (JIGN), dalam hal ini JIGN sebagai bentuk berbagi pakai dan penyebarluasan IG (Informasi Geospasial), kemudian Kebijakan Satu Peta dilanjutkan di periode pemerintahan Jokowi saat mengumumkan Paket Kebijakan Ekonomi VIII pada 21 Desember 2015, sebagai upaya percepatan Kebijakan Satu Peta pada 1 febuari 2016 Jokowi menetapkan Peraturan Presiden no 6 tahun 2016 tentang Percepatan Kebijakan Satu Peta Pada Tingkat Ketelitian Peta Skala 1: 50.000, percepatan ini dilakukan untuk penyelesaian atau perbaikan 85 informasi geospasial tematik / IGT sectoral yang tumpang tindih, dan melalui perpres tersebut Kementerian/Lembaga yang bertindak sebagai walidata akan menyiapkan peta tematik Skala 1:50.000 melalui proses kompilasi, integrasi dan sinkronisasi yang kemudian akan diberbagipakaikan melalui JIGN.
Pelaksanaan Kebijakan Satu Peta, saat ini telah memasuki tahapan Singkronisasi yang ketentuanya diatur dalam Permenko No 2 tahun 2019 tentang Sinkronisasi Antar informasi Geospasial Tematik Dalam Rangka Percepatan Kebijakan Satu Peta dari Dari 84 jenis IGT yang terintegrasi, Sekretariat Tim Percepatan KSP dari Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian dan Badan Informasi Geospasial (BIG) telah selesai memetakan Peta Indikasi Tumpang-Tindih IGT (PITTI), Luas Tumpang-tindih Penggunaan Lahan yang Teridentifikasi (PITTI) di Kalimantan adalah 10.435.919 ha (19,3% terhadap luas wilayah 53.983.830 ha), di Sumatera 6,473.872 ha (13,3% terhadap luas wilayah 48 48.627.031 ha), di Jawa 1.435. 952 (10,7% terhadap luas wilayah 13.478.342 ha ), di Sulwesi 3.644.734 (19,6% terhadap luas wilayah 18.634.105 ha), di Bali dan Nusa Tenggara 2.009.865 ha (27,3% terhadap luas wilayah 7.370.558 ha), dan di Maluku dan Papua 15.356.626 ha (31,2% terhadap luas wilayah 49.311.273 ha ). Peta PITTI ini digunakan untuk penyelesaian tumpang tindih penggunaan lahan melalui proses sinkronisasi antar IGT status sektor kehutanan, pertanahan, pertambangan dan tata ruang.
6 tahun sejak lahirnya kebijakan satu peta yang memberikan harapan dalam penyelesaian konflik agraria yang terjadi di berbagai tempat. Proses percepatan pelaksanaan kebijakan satu peta masih jauh dari semangat awal lahirnya sebagai kebijakan struktural yang berfokus pada isu penyelesaian konflik tenurial di tingkat lokal, pelaksanaan reforma agraria serta perbaikan tata kelola lahan dan sumber daya alam. beberapa catatan yang menjadi perhatian publik terkait pelaksanaan peraturan presiden nomor 9 tahun 2016 : (1) Pada peluncuran geoportal tersebut pemerintah tidak menghadirkan informasi geospasial tematik (IGT) terkait peta batas desa dan peta wilayah adat (2) Pemerintah telah menginkari keberadaan masyarakat adat dengan menghilangkan nomenklatur wilayah adat sebagai salah satu IGT dalam kebijakan satu peta (3) Badan Informasi Geospasial (BIG) justru mengembangkan metode pemetaan desa tanpa kesepakatan ini jauh dari mandat dan semangat permendagri nomor 45/2016 tentang pedoman penetapan dan penegasan batas desa, dengan metode ini partisipasi masyarakat dalam menentukan batas – batas wilayahnya nampak dikebiri sehingga keadaan ini berpotensi besar menimbulkan konflik baru antar desa (4) masih ditutupnya akses publik terhadap informasi geospasial tematik.
Menurut Kasmita widodo, kepala badan registrasi wilayah adat (BRWA), menyampaikan bahwa dengan dihilangkannya nomenklatur wilayah adat sebagai salah satu IGT dalam kebijakan satu peta dan ketiadaan peta (IGT) wilayah adat sebagai bagian dari proses kompilasi, Integerasi maupun singkronisasi, berdampak pada ketidakpastian hukum hak masyarakat adat atas tanah dan sumberdaya alam, ketidakpastian berusaha untuk pihak – pihak yang mendapat izin pengelolaan usaha di wilayah adat, konflik agraria dan SDA yang menimbulkan kriminalisasi masyarakat adat dan gagalnya tujuan kebijakan satu peta yaitu menyelesiakan tumpang tindih perizinan atau pengelolaan, kepastian berusaha dan penyelesaian konflim tenurial.
Pengakuan dan perlindungan masyarakat adat oleh negara terhadap ruang hidupnya semakin sangat jauh panggang dari api karena hingga hari ini negara tidak juga melakukan pengesahan terhadap RUU Masyarakat Adat dan hadirnya Omnibuslaw RUU cipta kerja yang diusung pemerintah secara substansinya akan sangat mudah menghilangkan ruang hidup masyarakat adat.
Narahubung :
BRWA - K Widodo / 0815-1302-4601
AMAN - Tommy / 0812-1980-1940
JKPP - Imam Hanafi / 0852-5272-5155
WALHI - Ach Rozani / 0813-1438-7675
GREENPEACE - Asep Komarudin / 0813-1072-8770
HuMa - Nora Hidayati / 0811-6924-772