Karst, Ekosistem Esensial yang Semakin Terancam

Sebagai negara yang dianugerahi kekayaan alam melimpah dengan bentang alam yang memiliki keanekaragaman keunikan dengan fungsinya yang khas seperi kawasan ekosistem karst, Indonesia sudah semestinya membuat pagar-pagar untuk melindungi kawasan ini dari berbagai keterancaman industri ekstraktive dan lainnya. Pagar-pagar tersebut sesungguhnya telah ada dalam komunitas yang tinggal di sekitar kawasan karst, berupa nilai-nilai hidup, kebudayaan dan kearifan dalam melangsungkan kehidupan mereka. Kebudayaan dan kearifan lokal pertanian sebagian besar melekat pada masyarakat yang hidup di sana, bagaimana masyarakat adat dan masyarakat lokal memiliki cara pandang atau paradigma yang khas terhadap ekosistem karst. Jika masyarakat adat dan masyarakat lokal memandang ekosistem karst sebagai bagian dari hidup dan identitas kolektifnya, seperti masyarakat pegunungan Kendeng Utara yang memandang karst sebagai ibu bumi, pemerintah justru sebaliknya. Pemerintah dan elit politik melihat kawasan ekosistem karst adalah sumber daya yang sudah sepatutnya digunakan sebesar-besarnya selagi ada, tanpa mempertimbangkan daya dukung dan daya tampung lingkungan yang juga memiliki keterbatasan. Belum ada perubahan mendasar dari paradigma pembangunan Indonesia dari masa ke masa, pun kita tahu bahwa negeri ini memiliki tingkat kerentanan bencana ekologis yang begitu tinggi. Paradigma pembangunan tidak berubah, kekayaan alam tetap menjadi tulang punggung perekonomian Indonesia, khususnya yang berbasis lahan, industri tambang salah satunya.

Sebagai tulang punggung ekonomi bangsa, penyokong utama agar mesin ekonomi ini bergerak adalah infrastruktur pendukungnya. Terlebih gagasan yang dikembangkan adalah berbasis koridor dan konektivitas. Di masa SBY kita mengenal MP3EI, diterjemahkan sebagai kebijakan perencanaan pembangunan infrastruktur untuk konektivitas pembangunan ekonomi Indonesia. Dalam upaya mendukung kebijakan tersebut, secara tegas akan membutuhkan bahan baku konstruksi (khususnya semen) yang akan diproduksi secara besar-besaran dengan memassifkan pembangunan industri semen di Indonesia. Data Asosiasi Semen Indonesia (ASI): produksi semen mencapai 3,5jt ton/tahun dan selalu surplus 1,6 %/tahun (sekitar 10.000 – 20.000 ton/tahun). Di satu sisi, pembangunan infrastruktur menurun 7,6% (Feb, 2015). Perluasan areal usaha bagi industri ekstraktif (tambang) menjadi ancaman serius bagi fungsi strategis dan keberlanjutan ekosistem, nilai sejarah, sosial budaya dan sekaligus menjadi ancaman hilangnya wilayah kelola rakyat. Secara keseluruhan, kawasan ekosistem karst menghadapi persoalan utama yakni ekspansi industri tambang, khususnya tambang Semen dan Marmer. baik milik perusahaan dalam negeri (BUMN/swasta) seperti PT. Semen Indonesia maupun perusahaan swasta/BUMN asing seperti PT. Conch, PT. Indocement/Heidelberg dan PT. Holcim. Ancaman eksploitasi karst bukan hanya di Pulau Jawa yang terus menggenjot pembangunan infrastrukturnya sebagai penyokong utama dari bisnis sumber daya alam di Indonesia. Di wilayah lain, keterencaman ekosistem karst sama besarnya, bahkan di wilayah dengan kategori kepulauan kecil yang memiliki tingkat kerentanan lebih tinggi dibandingkan dengan pulau lain, seperti Nusa Tenggara Timur. Selain di tingkat nasional, WALHI melakukan advokasi penyelamatan kawasan karst mulai di tingkat tapak hingga provinsi dan nasional, setidaknya 10 wilayah antara lain Jawa Barat, Jawa Tengah, Yogyakarta, Jawa Timur, Kalimantan Timur, Kalimantan Selatan, Sumatera Barat, Aceh, Sulawesi Selatan, dan NTT. Selain memperkuat perjuangan masyarakat di tingkat tapak seperti yang dilakukan di Maros dan Pangkep, WALHI juga menempuh jalur hukum seperti yang sampai saat ini masih berlangsung.

Saat ini, WALHI menggugat izin lingkungan yang dikeluarkan oleh Gubernur Jawa Tengah kepada PT. SI di PTUN Semarang. WALHI menyadari, penyelamatan kawasan ekosistem karst tidak bisa dilakukan sendiri. Karenanya dukungan harus diperluas, dengan melibatkan berbagai kelompok. Salah satunya dengan menyelenggarakan kegiatan diskusi publik untuk membedah esensi dan keterancaman kawasan ekosistem karst dari berbagai sudut pandang. Selain dihadiri oleh akademisi, CSO dan Jurnalis, kegiatan ini juga dihadiri oleh kelompok muda pencinta alam yang memiliki kedekatan tersendiri dengan karst, yang menjadi ruang belajar dan sekaligus beraktivitas. Aktor lain yang dilihat penting juga diintervensi oleh publik adalah sektor pendanaan yang membiayai industri keruk tambang yang mengancam kawasan ekosistem karst. Bersama dengan Koalisi Responsi Bank, WALHI juga telah melakukan kajian relasi sektor Perbank-kan dengan bisnis industri keruk ini. http://www.wp_walhi.local/2017/06/13/peran-perbankan-dalam-pengembangan-industri-semen-di-cekungan-air-tanah-cat-watuputih-rembang/