Investasi Industri Pariwisata dan Ancaman Tenggelamnya Pulau-Pulau Kecil


Investasi Industri Pariwisata dan Ancaman Tenggelamnya Pulau-Pulau Kecil

Parid Ridwanuddin
Manajer Kampanye Pesisir dan Laut Eksekutif Nasional WALHI

Pemerintah menargetkan penerimaan negara bukan pajak (PNBP) sebesar Rp 50 miliar pada tahun 2022. Demi mengejar target, Kementerian Kelautan dan Perikanan akan menggenjot pendayagunaan ruang laut, pesisir, dan pulau kecil oleh penanam modal asing. Di antara proyek yang saat ini diminati investor asing adalah pariwisata di pulau-pulau kecil, terutama di pulau kecil yang tidak berpenghuni.

Menurut Kementerian Kelautan, ada 29 investor asing yang sedang menjajaki pemanfaatan pulau-pulau kecil untuk membangun pariwisata. Dengan merujuk pada Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor 53 Tahun 2020 tentang izin pemanfaatan pulau-pulau kecil dan untuk penanaman modal asing, Kementerian Kelautan akan memberikan izin pemanfaatan selama 30 tahun yang dapat diperpanjang lagi selama 30 tahun berikutnya.

Selain itu, Kementerian menetapkan 70 persen luas pulau kecil untuk pengembangan pariwisata. Ini berdasarkan Peraturan Menteri Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional Nomor 17 Tahun 2016 tentang Penataan Pertanahan di Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil.

Kebijakan ini didasarkan pada Undang-Undang Cipta Kerja. Pasal 26A dalam regulasi itu menyebut bahwa pemanfaatan pulau kecil dan perairan di sekitarnya untuk investasi asing harus memenuhi perizinan berusaha dari pemerintah pusat dan peraturan perundang-undangan di bidang penanaman modal.

Mahkamah Konstitusi telah menyatakan Undang-Undang Cipta Kerja sebagai inkonstitusional bersyarat dan harus diperbaiki dalam dua tahun. Mahkamah juga menangguhkan segala kebijakan yang bersifat strategis dan berdampak luas dan meminta pemerintah tidak menerbitkan peraturan pelaksana baru yang berkaitan dengan Cipta Kerja. Maka, kebijakan Kementerian Kelautan mengenai investasi asing di pulau kecil juga harus ditangguhkan.

Pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil sebelumnya diatur dalam Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007 dan diubah dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014. Jika dibandingkan dengan kedua regulasi ini, Cipta Kerja terlihat telah meliberalisasi pengelolaannya. Ada dua indikatornya. Pertama, Cipta Kerja tidak memberikan batasan dan syarat ketat kepada investor asing. Kedua, Cipta Kerja menghilangkan pertimbangan sosial, khususnya kehidupan masyarakat pesisir, dan pertimbangan ekologis, khususnya ekosistem pulau kecil dan perairannya.

Rencana Kementerian Kelautan kali ini akan menghidupkan kembali hak pengusahaan perairan pesisir (HP3). Padahal, saat menguji Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007 pada 2010 lalu, Mahkamah Konstitusi telah membatalkan hak tersebut karena bertentangan dengan UUD 1945, khususnya Pasal 33.

Hak pengusahaan perairan pesisir dinilai melegalkan privatisasi sumber daya alam di wilayah pesisir, laut, dan pulau kecil. Bahkan, Mahkamah menyebut bahwa hak itu akan melegalkan pengkaplingan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil untuk menjadi private ownership dan close ownership kepada perseorangan, badan hukum, atau masyarakat tertentu.

Memprioritaskan pulau kecil yang tak berpenghuni untuk investasi asing adalah kebijakan yang sangat keliru. Selain bertentangan dengan putusan Mahkamah Konstitusi, kebijakan ini juga mengaburkan persoalan penting di pulau kecil. Di antara permasalahan yang harus segera ditangani adalah potensi tenggelamnya pulau-pulau itu akibat krisis iklim yang menyebabkan kenaikan air laut.

Tenggelamnya pulau kecil nyata terjadi di Indonesia, yang merupakan negara kepulauan. Contohnya adalah Pulau Betet di Sumatera Selatan dan pulau kecil di sekitar Pulau Enggano di Bengkulu. Pada masa yang akan datang, para ahli telah memprediksi akan lebih banyak pulau kecil yang tenggelam.

Pada 2016, Pusat Penelitian dan Pengembangan Geologi Kelautan, Kementerian Energi dan Sumberdaya Mineral melaporkan, dari 111 pulau kecil terluar, 83 di antaranya akan tenggelam dan 55 akan terkena dampak gempa bumi. Secara umum, akan ada ratusan pulau kecil yang tenggelam akibat krisis iklim pada masa datang.

Pada titik ini, Kementerian Kelautan bersama kementerian/lembaga negara lain wajib untuk segera mengevaluasi berbagai izin usaha yang membebani daya dukung dan daya tampung pulau kecil tersebut. Izin usaha yang membebani itu antara lain perkebunan kelapa sawit serta pertambangan mineral dan nikel, yang terbukti menghancurkan dan mempercepat tenggelamnya pulau-pulau tersebut.

Izin usaha itu juga memicu konflik tak berkesudahan dengan masyarakat lokal atau masyarakat tradisional yang telah lama hidup di pulau tersebut. Beragam konflik yang terjadi selama ini telah mengorbankan masyarakat pulau-pulau kecil. Mereka harus berhadapan dengan ancaman kriminalisasi, seperti yang terjadi pada tiga warga Pulau Wawonii di Kabupaten Konawe Kepulauan, Sulawesi Tenggara yang mempertahankan tanah mereka dari penambangan nikel.

Pemerintah seharusnya mendahulukan penyelesaian masalah-masalah tersebut dan berupaya memitigasi tenggelamnya pulau-pulau kecil. Kebijakan Kementerian Kelautan harus berpedoman pada konstitusi dan putusan Mahkamah Konstitusi dalam mengelola pulau-pulau kecil dan perairan di sekitarnya, bukan sekadar mengejar pendapatan negara.

Tulisan pernah diimuat di Koran Tempo, 21 Februari 2022