Oleh Agus Dwi Hastutik
Ede Warisan Ana Ra Umpu Maka Jaga Nani Haka Jo Hami (Ini warisan anak cucu kami. Maka kami jaga dan rawat oleh kami)
Pulau Komodo, 06 November 2021—Berbicara tentang Komodo (Varanus komodoensis) sebenarnya tidak bisa dipisahkan sejarahnya dengan Ata Modo, masyarakat adat suku Modo, yang telah lama tinggal di Pulau Komodo selama ratusan tahun. Komodo, dalam bahasa Komodo adalah Ora, tidak hanya merupakan satwa liar yang menjadi ikon wisata di Pulau Flores atau satwa yang dilindungi, tetapi Ora memiliki arti lebih bagi Ata Modo. Sebelum menjadi taman nasional, kawasan tersebut merupakan rumah bagi masyarakat adat suku Modo yang telah lama hidup berdampingan dan memiliki sejarah panjang tentang peradabannya dengan Komodo. Suku Modo telah menempati pulau Komodo jauh sebelum Indonesia merdeka. Menurut cerita sejarah dari leluhur Ata Modo, Komodo dan Ata Modo adalah saudara kembar (sebae) yang lahir dari rahim yang sama. Ada banyak legenda tentang bagaimana Ata Modo dan Komodo saling menjaga satu sama lain. Cerita - cerita ini masih diyakini dan hidup diantara masyarakat dan dijadikan sebagai pedoman bagi masyarakat dalam melakukan konservasi Komodo.
“Kami disini saling jaga. Karena kami (Ata Modo dan Komodo) adalah saudara.” Ucap Haryanto, masyarakat Ata Modo.
Namun sayangnya, yang selama ini disorot oleh dunia luar ketika berbicara tentang Taman Nasional Komodo hanya berputar pada satwa Komodo. Ata Modo adalah kembaran yang seakan terlupakan. Sebagai contoh, ketika wisatawan datang untuk pengamatan Komodo di Loh Buaya atau Loh Liang, mereka akan ditemani oleh seorang naturalist guide (pemandu) yang akan memandu selama perjalanan melihat Komodo di alam bebas. Secara umum, naturalist guide akan memberi informasi tentang Komodo dan perilakunya. Sedangkan, pengetahuan sejarah Komodo dan hubungan eratnya dengan Ata Modo, cerita - cerita tentang bagaimana Ata Modo ada disana dan hidup bersamaan bersama Komodo adalah potongan besar yang dikesampingkan dan tidak diketahui oleh masyarakat dunia terkhususnya wisatawan yang berkunjung ke Taman Nasional Komodo.
“Dari dulu sampai sekarang saya sangat merasa kasihan dengan mereka (wisatawan) yang datang dan hanya berposting dengan Komodo. Tapi sebenarnya ada cerita dibalik itu tentang bagaimana hubungan Komodo dengan masyarakat." Tutur Pak Sidiq, masyarakat Ata Modo.
Selama ratusan tahun, masyarakat Ata Modo telah berperan penting dalam melakukan konservasi Komodo. Dalam memaknai konservasi, Ata Modo menganggap Komodo sebagai saudara mereka yang harus dilestarikan dan tidak boleh diganggu. Hal ini dibuktikan dengan bagaimana Komodo dan Ata Modo hidup berdampingan dan saling menjaga sampai sekarang. Sebagai contoh, kejadian kebakaran yang terjadi di kawasan taman nasional dalam beberapa tahun terakhir, warga Ata Modo selalu menjadi garda terdepan untuk memadamkan api karena mereka tidak ingin Komodo dalam bahaya.
Bertempat di Desa Komodo, Pulau Komodo, sebuah festival dengan tajuk Festival Ata Modo: Ede Warisan Ana Ra Umpu Maka Jaga Nani Haka Jo Hami diselenggarakan untuk pertama kalinya pada tanggal 05 - 06 November 2021. Festival terdiri dari tiga serangkaian kegiatan, diawali dengan peresmian KCC, festival perahu dan pameran pangan lokal dan pentas seni. Festival ini berangkat dari inisiatif masyarakat dan melibatkan seluruh elemen masyarakat Komodo, dari anak muda, guru, anak sekolah, bapak-bapak, dan ibu-ibu disana. Festival Ata Modo bertujuan untuk mengangkat dan menghidupkan kembali kebudayaan asli Ata Modo yang sudah lama tidak terwakili dan jarang diketahui mata publik. Selain itu, festival ini juga bentuk representasi kehidupan Ata Modo dan Komodo yang telah berlangsung secara turun temurun.
Acara pertama dari serangkaian festival adalah peresmian Komodo’s Community Center (KCC) yang berlangsung pada tanggal 05 November 2021 di Desa Komodo, Pulau Komodo. KCC merupakan rumah pengetahuan Ata Modo yang pertama kali didirikan di Pulau Komodo, sebagai ruang publik dan konsolidasi bagai anak muda untuk bercerita tentang sejarah Komodo dan Ata Modo dalam waktu ke depan.
“KCC ini lahir dari pikiran teman-teman muda yang dalam perjalannya merupakan hasil dari perenungan kita selama ini, bahwa di Pulau Komodo terdapat potensi-potensi, nilai sejarah, nilai kebudayaan dan seiring perkembangan waktu bisa pudar.” ujar Akbar Al-Ayyubi, koordinator KCC.
Keprihatinan dan kekhawatiran akan hilangnya kebudayaan Ata Modo ini menjadi dasar didirikannya KCC. Ide pendirian KCC sebenarnya sudah terpikirkan sejak tiga tahun lalu, namun baru mulai tercipta sejak tahun lalu. Ke depan, KCC diharapkan sebagai sumber pengetahuan dan pusat kajian tentang hubungan Komodo dan Ata Modo.
“Sejarah begitu penting sebagai pedoman bahwa untuk membangun peradaban ke depan, kita harus mengacu ke belakang. Seperti kiat-kiat menjaga lingkungan hidup dan alam dari orang dulu, mitos-mitos yang masih hidup sampai saat ini, penting untuk adanya pendokumentasian dan pengarsipan hal-hal tersebut.” Tambah Akbar.
Peresmian Komodo’s Community Center, 05 November 2021.
Acara kedua adalah festival perahu yang berlangsung pada pagi hari tanggal 06 November 2021. Di atas perairan Komodo yang berada tepat di depan Desa Komodo, 11 nelayan Ata Modo yang berpartisipasi dalam festival menaiki perahu mereka masing-masing. 11 perahu berjejer dengan posisi satu perahu besar berada di tengah dan lima perahu kecil berada disamping kanan dan kiri perahu besar. Dengan berbagai spanduk bertuliskan ‘Selamatkan Nelayan Desa Komodo’, ‘Pulihkan Budaya Bahari Ata Modo’, ‘Kami Akan Tetap Melaut’, dan spanduk lain dengan seruan menyelamatkan nelayan Ata Modo menghiasi perahu setiap nelayan, dipimpin dengan perahu besar yang berada di tengah, perahu-perahu tersebut perlahan meninggalkan Desa Komodo berlayar menuju ke tengah laut tempat dimana nelayan menangkap ikan dengan merentangkan spanduk yang tertempel pada perahu.
Festival Nelayan, 06 November 2021.
Kegiatan utama dari festival ini adalah deklarasi nelayan yang dibacakan oleh perwakilan nelayan di atas perahu besar di tengah laut. Deklarasi yang dibacakan dalam Bahasa Komodo ini adalah bentuk respon nelayan terkait kebijakan yang dirasa merugikan oleh masyarakat. Sejak adanya sistem zonasi yang dibuat oleh pemerintah pada tahun 2012, telah terjadi perubahan yang cukup signifikan dalam ruang hidup masyarakat karena pemetaan kawasan taman nasional. Sistem zonasi ini mengatur area penangkapan nelayan Ata Modo. Sebagai contoh, beberapa titik penangkapan ikan seperti Gili Lawa, Loh Liang, Long Beach Pulau Padar, yang merupakan titik strategis penangkapan karena volume ikan yang tinggi kini tidak lagi diperbolehkan sebagai titik penangkapan karena sudah masuk ke dalam zonasi pemanfaatan pariwisata. Sistem zonasi ini tentu saja berdampak secara langsung kepada nelayan karena mempersempit ruang gerak nelayan dalam menangkap ikan. Untuk menangkap ikan mereka hanya diperbolehkan untuk mengakses dua zona laut yaitu zona pemanfaatan tradisional bahari dan zona pemanfaatan pelagis. Bahkan tidak jarang masyarakat harus mengalami upaya kriminalisasi oleh BTNK karena salah masuk zonasi. Hal ini juga diakibatkan karena sosialisasi yang buruk terkait sistem zonasi yang dilakukan oleh BTNK kepada masyarakat.
“Saya melihatnya (sistem zonasi) ini lucu. Mereka (BTNK) mengkotak-kotakkan wilayah laut. Padahal untuk menangkap ikan yang terbawa arus, ikan tidak peduli mereka berada di zona apa. Hal ini menyusahkan kami sebagai nelayan.” Nelayan Ata Modo.
Selain itu, dalam deklarasi ini masyarakat juga mempertegas komitmen nelayan Ata Modo untuk menjaga dan memanfaatkan potensi alam di kawasan taman nasional secara adil dan merata demi keberlanjutannya untuk generasi mendatang.
Festival Nelayan Ata Modo, 06 November 2021.
Acara ketiga sekaligus menjadi acara puncak dari serangkaian acara festival adalah pameran pangan lokal dan pentas seni yang berlangsung pada malam hari tanggal 06 November 2021 di lapangan Desa Komodo. Pameran pangan lokal ini menampilkan karya mama-mama Ata Modo yang membuat 20 jenis makanan khas Ata Modo. 20 jenis makanan Komodo ini diolah dan dibuat oleh empat kelompok mama-mama Ata Modo. Dua kelompok mama-mama bertugas membuat makanan yang bahan-bahannya berasal dari daratan yang tumbuh di tanah mereka dan dua kelompok lainnya membuat makanan yang bahan-bahannya berasal dari hasil laut.
Kelompok Mama-mama Ata Modo yang sedang menyiapkan makanan untuk pameran pangan lokal.
Pameran pangan ini tidak hanya menampilkan pangan lokal karya mama-mama Ata Modo, tetapi sekaligus menjadi obat rindu karena beberapa makanan khas Ata Modo yang di makan pada zaman dulu kini sudah jarang dibuat lagi. Seperti peda, makanan kue kering yang gurih yang terbuat dari tepung terigu dicampur dengan kelapa dan dicocol dengan gula merah yang sudah dicairkan untuk menikmatinya. Masyarakat yang datang juga bisa menikmati makanan yang dipamerkan. Beberapa makanan yang diolah dari hasil laut seperti wreng, tireng, abon ikan, pejabu dan beberapa olahan dari hasil darat seperti mbutaq, dangi, tetene, kewiro, rodha, kerincu, kompe menunjukan kekayaan kuliner Ata Modo yang belum banyak diketahui oleh publik luas.
Pameran Pangan Lokal, 06 November 2021.
“Makanan-makanan ini adalah makanan yang kami makan pada masa lampau, tidak akan pernah kami lupakan (makanan khas Komodo) dan akan terus kami makan makanan,” Ujar Mama Intansari, Desa Komodo.
Dengan tata panggung yang sederhana, cahaya redup yang terpasang pada bambu yang berada di tengah dan sisi panggung, ratusan penonton memadati lapangan Desa Komodo untuk melihat pentas seni yang sudah disiapkan oleh masyarakat.
Dibawah lampu temaram dan memangku alat musik tradisional tembong, seorang perempuan tua yang dulu sering menyanyi dalam acara besar Ata Modo, membuka festival pentas seni malam itu dengan nyanyian berjudul Ario yang berarti adikku. Nyanyian Ario merupakan nyanyian nina bobo asli Ata Modo yang biasa didendangkan oleh seorang kakak kepada adiknya agar segera tertidur. Telah terjadi perubahan dalam lirik nyanyian tersebut seiring berkembangnya waktu. Dibawakannya nyanyian ini dalam festival sebagai bentuk untuk mengingatkan kepada masyarakat Ata Modo versi asli dari nyanyian tersebut.
Pertunjukan selanjutnya adalah tarian adat Ata Modo. Berdandan molek dalam pakaian adat mereka, sejumlah anak SMP yang terdiri dari laki-laki dan perempuan dengan luwes membawakan tarian Arugele. Kata Arugele berasal dari kata ‘aru’ yang berarti batang kayu dan ‘gele’ yang merupakan sejenis kerang laut. Tarian ini merupakan tarian yang dulu sering dinyanyikan oleh masyarakat Ata Modo ketika mereka sedang menumbuk mbutaq, makanan khas adat Ata Modo yang terutama dari sagu. Gerakan utama dan khas dari tarian ini adalah gerakan menumbuk sagu dengan batang kayu ke lesung. Tarian Arugele yang dipentaskan pada festival adalah versi yang berbeda dengan tarian Arugele pada zaman dahulu karena sudah ada campuran dengan versi modernnya. Usai penampilan Arugele, dua siswa SMP kemudian menuju panggung untuk menampilkan pencak silat dari Komodo.
Pentas selanjutnya adalah pentas teater drama dengan judul “Sepotong Daging Rusa” yang diperankan oleh siswa-siswi SMP Komodo. Pentas drama ini membawa penonton ke sebuah perjalanan masa lalu untuk melihat kembali kehidupan masyarakat Ata Modo dan Komodo di masa lalu. Satu keluarga yang terdiri dari Ama (Bapak), Ina (Ibu), anak pertama dan anak kedua dan bayi yang baru lahir. Sejarahnya, sebelum berganti menjadi masyarakat nelayan dan pelaku pariwisata, masyarakat Ata Modo pada mulanya adalah masyarakat agraris dan mereka berburu rusa. Cerita teater ini mengikuti seorang Ama yang pergi berburu rusa dengan tetangganya, dan Ina yang sedang menumbuk mbutaq untuk santapan sehari-hari mereka dan dan kedua anaknya sedang menjaga adik bayi mereka yang baru saja lahir. Saat berburu, si Ama terkejut dengan kehadiran sebae, Ora (komodo), yang menghampiri mereka. Ama kemudian membawa hasil buruan mereka ke rumah dan tak jauh dari rumah terlihat sebae yang sedang rebahan. Ama lalu menghampiri sebae dengan membawa sepotong daging rusa sebagai bentuk kesadaran bahwa Ata Modo dan Komodo adalah saudara. Teater drama ini menceritakan bagaimana masyarakat Ata Modo hidup berdampingan dengan Komodo dengan berbagi makanan dengan Komodo pada zaman dahulu.
Pertunjukan terakhir sekaligus sebagai penutup festival adalah pembacaan sajak oleh dua siswa SMP secara sahut-menyahut. Sajak berjudul Pusi Ndadi Ata Modo (Hidup Menjadi Ata Modo) yang ditulis oleh pemuda Komodo adalah sebuah kritik yang disampaikan untuk merespon keadaan yang menghimpit masyarakat Ata Modo sekarang. Beberapa kebijakan yang dilahirkan oleh pemerintah, seperti sistem zonasi, dan hadirnya invasi investasi yang sedang berlangsung di kawasan taman nasional, ironisnya, alih-alih mendatangkan kesejahteraan untuk masyarakat justru malah melahirkan berbagai persoalan dan ketidakadilan bagi masyarakat setempat. Secara administratif, Desa Komodo masuk dalam Kabupaten Manggarai Barat yang mendapat gelar Kabupaten dengan destinasi wisata super prioritas. Namun, pada kenyataannya terdapat kesenjangan yang cukup besar karena yang berkembang adalah destinasi wisatanya dan posisi masyarakatnya terabaikan. Sajak ini mengkritik dengan keras bagaimana masyarakat Ata Modo hanya menjadi penonton di tanah mereka sendiri.
“Kami ini tinggal disini (Pulau Komodo) di tanah kami sendiri, tapi kami (diperlakukan) bagai telur di ujung tanduk.” Keluh Pak Bambang, nelayan Pulau Komodo.
Pentas seni tari Arugele, 06 November 2021.
Ata Modo adalah masyarakat adat yang memiliki identitas mereka sendiri. Mereka berbahasa Komodo dalam kehidupan sehari-hari dan mereka memiliki kebudayaan Ata Modo yang masih dipelihara sampai saat ini. Saat ini, meski Taman Nasional Komodo telah menjadi destinasi wisata yang dikenal secara internasional, keberadaan Ata Modo, yang memiliki peran penting terhadap keberlangsungan Komodo belum dihargai dan sepenuhnya diakui. Taman Nasional Komodo telah mendapat banyak gelar nasional dan internasional. Salah satunya adalah gelar warisan dunia yang didapatkan pada tahun 1991, namun ironisnya Ata Modo yang selama beregenerasi telah tinggal dan menetap disana, memiliki ikatan sejarah, berkontribusi dalam konservasi komodo dengan pengetahuan adat mereka, tidak dijadikan sebagai pewarisnya. Seharusnya, posisi Ata Modo dengan segala kearifan lokal yang kaya dapat dijadikan tambahan aset kekayaan kebudayaan Indonesia.