Ekonomi Nusantara: Tawaran Solusi Pulihkan Indonesia (updated)

Unduh Buku Disini (Ekonomi Nusantara)

 

----- ----- ----- ----- -----

Catatan Diskusi Peluncuran Buku Ekonomi Nusantara
Wahana Lingkungan Hidup Indonesia

“Ekonomi Nusantara Tawaran Solusi Pulihkan Indonesia”
(Narasi Tanding terhadap Hegemoni Pertumbuan Ekonomi)

Jakarta, 27 Mei 2021– Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) meluncurkan sebuah buku yang merupakan buah dari hasil penelitian yang dilangsungkan selama dua tahun belakangan. Hasil penelitian ini disajikan dalam sebuah buku yang berjudul Ekonomi Nusantara Tawaran Solusi Pulihkan Indonesiadan diluncurkan pada Selasa, 25 Mei 2021. Lahirnya buku ini diharapkan mampu memantik sebuah diskursus tanding dan berotoritas yang mampu secara perlahan mengkikis hingga meruntuhkan hegemoni sistem kapitalisme dengan model pertumbuhan ekonominya.

Peluncuran buku ini dilakukan dalam sebuah diskusi publik yang di awali pengantar oleh Nur Hidayati, Direktur Ekeskutif WALHI. Selanjutnya, Even Sembiring mewakili Tim Penulis dan Peneliti memaparkan secara ringkas muatan buku tersebut. Setelahnya, WALHI memberi kesempatan kepada tiga orang penanggap untuk memberi komentar dan catatan terhadap buku tersebut. Ketiga penanggap tersebut, yaitu Prof. Dr. Sri-Edi Swasono; Suraya Afiff, Ph.D dan Melissa Kowara. Komentar dan catatan ketiga penanggap ini dapat disimak pada sajian di bawah.

Feasible sekaligus Viable Mengajak Pergeseran Paradigma (Prof. Dr. Sri-Edi Swasono)
Buku ekonomi nusantara memposisikan diri sebagai suatu gerakan atau paham yang anti terhadap pertumbuhan. Buku ekonomi nusantara sekaligus memberi kritik terhadap kapitalisme, yaitu terhadap pertumbuhan PDB total dan PDB perkapita, dengan segala ketimpangan, ketidakadilan dan eksploitasi manusia yang diakibatkan oleh kapitalisme.

Tujuh puluh tahun yang lalu, telah terbit buku A Survey of Contemporary Economics, jilid I (1949) dan jilid II (1950) yang disponsori oleh The American Economic Association. Kedua buku ini mengerucut pada kritiknya tentang mekanisme pasar-bebas yang berujung pada perlu berakhirnya pasar-bebas (the end of laissez-faire) dan persaingan bebas (free fight liberalism), yang hampir semuanya bertitik-tolak dari artikel monumental John Maynard Keynes 1926 berjudul “The End of Laissez-Faire.” Kedua buku tersebut pada saat itu menyatakan diri sebagai pandangan kontemporer. Hal ini yang kembali diulang oleh buku ekonomi nusantara. Bedanya, kedua buku tersebut masih memberi kritik pada pasar bebas, sedangkan WALHI memberi kritik terhadap kapitalisme dengan pertumbuhan ekonominya. Apa yang dikemukakan dalam Bab II Ekonomi Nusantara, boleh dibilang merupakan ilmu ekonomi kontemporer (contemporary economics), yang berlawanan dengan mainstream economics conventional yang masih diajarkan di kampus-kampus kita saat ini.

Ekonomi nusantara harus dipahami sebagai ajakan pergeseran paradigma. Buku ini mengajak kita meninggalkannya titik-tolak dari manusia sebagai homo-economicus, menuju ke manusia sebagai homo-humanus, homo-ethicus, homo-socious, homo-tat twam asi, homo-religious, homo-ecologicus dan homo-magnificus. Sederhanya, mengajak manusia bergeser menuju Khalifatullah.

Ekonomi nusantara merupakan sebuah buku yang dapat dipadankan dengan apa yang disebut dengan “ekonomi rakyat.” Sebuah istilah yang pertama kali dikenalkan oleh Mohmmad Hatta (Bung Hatta). Ekonomi Rakyat atau grass-roots economy adalah derivat dari doktrin Kedaulatan Rakyat (Pasal 1 Ayat 2 UUD 1945). Ekonomi rakyat adalah riil dan konkret. Ekonomi rakyat lebih luas lagi melalui konsepsi triple-co (co-ownership, co-determination, dan co-responsibility) dari masyarakat tingkat bawah yang ikut dalam pemilikan saham pada usaha besar. Oleh karena itu, kritik ekonomi nusantara terhadap trickle-down effect merupakan suatu hal yang tepat. Praktik tersebut merupakan suatu bentuk pelecehan terhadap rakyat.

Imajinasi Tanding “the another world is possible” (Suraya Afiff, Ph.D)
Wacana ekonomi nusantara  adalah upaya WALHI untuk menginternalisasi wacana global yang sedang naik daun. Lalu bagaimana wacana ini dalam konteks Indonesia membongkar hubungan ekonomi pertumbuhan dan kapitalisme. Dalam konteks ekonomi politik, para ekonom sering kali mengkaitkan pertumbuhan ekonomi dengan kebutuhan menurunkan ketimpangan dan kemiskinan. Faktanya, di Indonesia dan negara lainnya, ternyata tidak ada korelasi linear dengan upaya tersebut. Pertumbuhan ekonomi malah berkorelasi erat dengan eksploitasi alam yang berdampak pada pencemaran, kerusakan lingkungan yang semakin parah dan berkorelasi erat dengan perubahan iklim.

Saat ini, trickle-down economy yang diusung oleh pertumbuhan ekonomi tengah digugat kesahihannya oleh banyak akademisi bahkan Presiden Amerika. Sayangnya, hal ini tidak terjadi di Indonesia. Di tengah kritik terhadap trickle-down effect, Pemerintah malah semakin memperkuat kepercayaannya terhadap pertumbuhan ekonomi. Kepercayaan ini diperkuat dengan lahirnya UU Cipta Kerja. Bahkan kepercayaan terhadap pertumbuhan ekonomi masih tetap dipegang teguh oleh mayoritas akademisi Indonesia. Ketimpagan penguasan lahan oleh korporasi merupakan bukti kecil dampak dari trickle-down effect. Ketimpangan dan kemiskinan yang sesungguhnya tidak terjadi secara natural, tapi hadir secara by design.

Wacana ekonomi nusantara merupakan suatu upaya penting untuk melahirkan imajinasi tanding terhadap pertumbuhan ekonomi. Menurut David Graeber, tugas akademisi adalah membuka imajinasi tentang aternatif, tentang alternatif the another world. Hal ini yang sedang diupayakan WALHI, bahwa terdapat kemungkinan sistem ekonomi lain, selain economic growth, selain sistem ekonomi yang dibangun dengan relasi-relasi kapitalisme. Tentu bukan suatu hal mudah, karena pertumbuhan ekonomi sudah menghegemoni sedemikian lama dan mengambil posisi sebagai regime of truth.

Meredefinisi Makna Ekonomi (Melissa Kowara)
Ekonomi nusantara memperlihatkan wujud atau bukti, dimana PDB  merampas kesejahteraan. Ekonomi nusantara juga memperlihatkan praktik-praktik buruk pembatasan definisi ekonomi oleh negara. Bahkan praktik ekonomi nusantara memperlihatkan praktik ekonomi yang adil dan tidak rentan. Bahkan beberapa temeuan penelitian memperlihatkan kemampuan praktik ekonomi ini menghadapi hantaman krisis. Sayangnya, hal ini tidak dimasukkan dalam PDB, karena dianggap tidak memberi kontribusi terhadap penerimaan pajak.

PDB merupakan salah satu penyebab terjadinya krisis iklim. Praktik ekstraktif dan perampasan lahan merupakan ciri utama PDB. Lalu pertanyaannya, apakah praktik ekonomi seperti ini mampu memberi jawaban terhadap tantangan krisis iklim? Tentu tidak. Industri kehutanan, energi dan pangan yang menjadi pendorong utama pertumbuhan ekonomi, malah berkontribusi signifikan terhadap krisis. Ekonomi nusantara sebagai ekonomi rakyat, menjadi salah satu tawaran tepat menjawab krisis yang terjadi. Mengembalikan hak rakyat dan menyerahkan pengelolaannya secara arif tentu akan mendorong jatuhnya PDB, namun menjadi solusi menghadapi krisis iklim.

Lalu apa definisi ekonomi sebenarnya? Ekonomi yang sebenarnya bukan menumpuk uang, tapi memastikan pemenuhan kebutuhan pokok. Hal ini tentu berbeda dengan apa yang didefinisikan oleh pemerintah. Pendekatan uang juga tidak dapat didekatkan dengan pemaknaan kesejahteraan. Ukuran kesejahteraan bagi mayoritas masyarakat Indonesia bahkan dunia sebenarnya terkait dengan pemenuhan kebutuhan. Sering kali masyarakat yang mampu memenuhi kebutuhannya secara mandiri tetap dikategorikan miskin karena dianggap tidak mempunyai uang yang cukup oleh pemerintah. Kesejahteraan dengan  ukuran PDB sekalipun tidak mampu memberi hal yang cukup baik terhadap penerimaan negara (pajak). Janji kesejahteraan melalui penerimaan pajak dari investasi dari salah satu varian penghitung PDB, malah memberi keuntungan lebih besar kepada investor. Belum lagi dengan tambahan dampak negatif lain, seperti perampasan ruang. Trickle down effect merupakan tipuan janji kesejahteraan.

Catatan:
Diskusi lengkap peluncuran buku “Ekonomi Nusantara Tawaran Solusi Pulihkan Indonesia” dapat dilihat di https://www.youtube.com/watch?v=QAehEtUS208.