CASI (Critical Agrarian Studies of Indonesia)
di ARC (Agrarian Resource Center)
Bandung (28 april – 4 mei 2019)
Sejak hari pertama hingga terkahir, diskusi yang difasilitasi oleh Dianto Bachriadi dari sisi materi yang disajikan sangat tematik, sehingga syarat mengikuti kelas adalah membaca artikel, jurnal, bab buku yang disajikan pemateri seminggu sebelum kelas berlangsung. Selain itu, disela-sela break peserta juga memanfaatkan waktu untuk mendiskusikan bahan bacaan yang telah dibagikan. Disaat sesi diskusi dimuali, perwakilan dua orang peserta juga diminta untuk mereview bahan bacaan yang menjadi tema diskusi.
Pada hari pertama, diskusi dimulai dengan topik “fenomena depeasantization” atau fenomena menghilangnya petani dari sektor pertanian yang awalnya akan di pantik oleh Prof. Henry Bernstein dari SOAS University Inggris. Namun, karena berhalangan hadir sehingga posisi tersebut digantikan oleh Dianto Bachriadi. Pokok pembahasan diskusi ini mempertanyakan kembali posisi kelas sosial “petani” yang tidak lagi bekerja hanya untuk menghidupi rumah tangganya, tetapi telah menjadi buruh upahan baik itu di unit usaha pertanian skala kecil dan menengah maupun perusahaan skala besar baik itu perkebunan sawit maupun industri ekstraktif lainnya seperti tambang.
Hari kedua (29/4/19) diskusi dipantik oleh Prof. Endriatmo Soetanto dari IPB yang menyoal signifikansi redistribusi tanah (land reform) sebagai jalan keluar masalah kemiskinan di pedesaan. Satu pertanyaan penting pada sesi ini yaitu, dalam situasi Indonesia yang hancur lebur karena penetrasi kapitalisme global yang membuat reposisi kehidupan petani kocar-kacir dipedesaan, mau di daratkan dimana program reforma agraria? Kita tahu bahwa tujuan dari reforma agraria adalah re-arrangement atau penataan kembali penguasaan, pemilikan dan penggunaan lahan yang diarahkan pada industrialisasi. Kenyataanya, industri kita telah dibangun tanpa program reforma agraria pasca 1965 melalui modal kapital global. Saat ini, rakyat (petani) tidak memiliki otoritas terhadap lahannya karena penguasaan lahan oleh korporasi besar – sehingga mereka tidak memiliki kekuatan untuk bertahan di desa dan lebih memilih menjadi pekerja upahan karena tidak memiliki resiko gagal panen, akses modal untuk berproduksi dll.
Hari ketiga (30/4/19) diskusi dipantik oleh Dr. Satyawan Sunito menggantikan Dr. Laksmi Savitri dari UGM yang berhalangan hadir. Dr. satyawan menyoal topik “new peasantries” atau kecenderungan lahirnya petani baru akibat dari tidak terserapnya mereka pada industri jasa & manufaktur di perkotaan. Kajian ini juga sekaligus membantah pandangan telah tergerusnya petani saat terjadi penetrasi kapitalisme di pedesaan. Meskipun demikian, gejala kembali menjadi petani ini juga adalah reaksi atas kapitalisme yang menciptakan de-peasantization. Diskusi ini juga, berakar dari perdebatan lama antara Alexandre Chayanov dan Valdimir Lennin di Russia pada abad 19. Pandangan terkait masih persistennya petani ditengah gelombang kapitalisme global ini di ketengahkan kembali oleh ilmuan asal Wageningen Belanda Van Der Ploeg. Tidak jauh berbeda dengan pendahulunya, Ploeg menganggap pengembangan kembali dan memperkuat usaha tani “petani” yang berbasis pada kaum tani (peasant mode of farming) adalah hal penting untuk keluar dari krisis agrarian dan ekologi. Mesti diingat bahwa untuk mengembangkan “peasant mode of farming” mensyaratkan tersedianya atau berkembangnya “peasant condition” (kondisi/situasi petani tertentu) seperti produksi dan pertumbuhan ‘nilai-tambah’ sebanyak yang dimungkinkan, disediakan sejumlah sumber-sumber yang dibutuhkan, intensifikasi berbasis tenaga kerja, pengaturan relasi antar sektor dan pemusatan pada aspek ketenaga kerjaan.
Hari keempat (2/5/19) diskusi dipantik oleh Prof. Ben White yang menyoal pertanian skala kecil dan skala luas. Dengan pengalaman riset lapangan yang sangat kaya di pedesaan Indonesia khususnya pertanian padi-sawah, membuat Ben White berkesimpulan bahwa di pedesaan telah terjadi “diferensiasi petani sekaligus anti diferensiasi.” Menurutnya kapitalisasi di pedesaan Indonesia terjadi bukan dari proses diferensiasi – susah menemukan petani yang berwatak kapitalis seperti dugaan para Marxis. Depeasantization yang terjadi juga sangat lambat. Gejala yang sangat menonjol adalah merger antara sesama petani kecil (small holder) atau mempraktekkan siklus keluarga petani seperti yang diungkap Chayanov dua abad yang lalu dengan konteks dan dinamika yang berbeda.
Hari kelima (3/5/19) diskusi dipantik oleh Rita Padawangi dari Singapore University of Social Sciences (SUSS) yang menyoal proses-proses transisi agraria dan masalah-masalah perkotaan (urban problem). Diskusi pada sesi ini focus pada problem-problem perkotaan seperti migrasi, urbanisasi, pertumbuhan kapital dan bagaimana sebaiknya kota dikelola bukan bertumpu pada mazhab pembangunanisme yang dilakukan sejak orde baru. Menurutnya, konsep kota yang dilanjutkan sampai saat ini adalaha kota bentukan kolonial. Selain itu, kota-kota di nusantara juga dibentuk berdasarkan segregasi (pemilahan) berdasarkan kelas sosial, budaya, dan etnis. Satu pertanyaan kunci dalam diskusi ini adalah terkait apakah ditengah model pembangunan kota yang tendensinya sangat kapitalistik ada model pembangunan kota alternativ atau diluar kapitalis?
Jawabanya adalah pengorganisasian secara sosialis/alternatif atau dalam kajian pembangunan perkotaan di sebut “garden city” – dalam perspektif ini kota dijadikan ruang sosial yang demoktratis bukan akumulasi. Dalam contoh yang paling kongkrit, kepemilikan lahan mesti direservasi agar tak masuk ke pasar tanah yang mencegah private property (kepemilikan pribadi). Selain itu, ada juga kontrol negara terhadap perumahan publik melaui pembayaran tunai yang dikelola oleh komunitas atau badan pemerintah seperti land trust .
Hari keenam (4/5/19) diskusi dipantik oleh Iqra Anugrah Ph.D yang menyoal gerakan sosial agraria di Indonesia. Diskusi ini fokus melihat sejarah gerakan agraria, dinamika, dan bagaimana gerakan-gerakan tersebut terinspirasi dari gerakan agrarian trans-nasional yang berhasil menumbangkan kekuasaan yang pro terhadap kapitalis dan pemilik lahan skala luas.
Paling terkahir, diskusi CASI advanced 2019 ditutup dengan refleksi dari anggota dan panitia. Refleksi ini dalam rangka perbaikan dan evaluasi apa yang perlu diperbaiki dari sisi manajemen panitia dan kajian apa yang diperlukan dalam kegiatan CASIberikutnya.